Mohon tunggu...
rizqa lahuddin
rizqa lahuddin Mohon Tunggu... Auditor - rizqa lahuddin

hitam ya hitam, putih ya putih.. hitam bukanlah abu2 paling tua begitu juga putih, bukanlah abu2 paling muda..

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Pajak Natura dan Filosofi di Baliknya

21 Juli 2023   14:30 Diperbarui: 24 Juli 2023   01:45 2231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dibuat oleh penulis

Bayangkan seseorang sedang mencari pekerjaan, lalu mendapatkan dua tawaran menarik dari perusahaan yang mirip-mirip dan kebetulan berada di lokasi yang sama pula (misal: komplek ruko yang berada di jalan utama daerah Bintaro) sebagai berikut:

Perusahaan pertama, PT. ABC menawarkan Gaji Rp.5.000.000 + Tunjangan Rp.3.000.000

Perusahaan kedua, PT. XYZ menawarkan Gaji Rp.5.000.000 + Tunjangan Rp.2.000.000 tetapi lantai paling atas ruko tersebut yang sudah terbagi menjadi beberapa kamar boleh dipergunakan sebagai mess pekerja lengkap dengan listrik, air dan wifi.

Bagi calon karyawan yang belum berkeluarga, tentu saja PT.XYZ terlihat lebih masuk akal karena mencari kos di kawasan strategis Bintaro bisa sangat mahal apalagi jika harus membayar lagi untuk listrik, pulsa dan internet yang jika dinilai dengan uang, bisa lebih dari yang ditawarkan PT. ABC. Fasilitas tempat tinggal inilah yang dimaksud sebagai natura atau kenikmatan.

Hanya ada satu masalah dalam skenario diatas. Walaupun secara "value", gaji dan fasilitas yg diterima karyawan PT. XYZ lebih tinggi dibanding PT. ABC tetapi PPh Pasal 21 yang dipotong oleh PT. ABC kepada karyawannya justru lebih besar dari PPh 21 yang dipotong dari karyawan PT. XYZ. 

Hal ini terjadi karena sebelum Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), natura dan kenikmatan seperti fasilitas tempat tinggal diatas, bukan merupakan obyek PPh.

Prinsip Keadilan

Tentu saja dengan ilustrasi diatas, sepintas peraturan perpajakan menjadi tidak adil bagi PT ABC dan karyawannya tetapi hal tersebut sudah diperhitungkan oleh pembuat regulasi, dimana bagi PT XYZ pemberian fasilitas bagi karyawan tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya untuk menghitung PPh nya atau dalam istilah perpajakan disebut dng koreksi fiskal.

Semua biaya listrik, air, dan internet di lantai atas ruko tersebut tidak boleh dibebankan. Bagaimana cara menghitungnya? 

Wah kalau itu sih... Akan dibahas lain kali saja di tulisan yang lain. Yang jelas sih, prinsipnya jika bagi penerimanya bukan merupakan penghasilan maka bagi si pemberi juga bukan merupakan biaya.

Tapi rasanya masih tetap kurang pas ya? Seandainya harga wajar kos di sekitar Bintaro adalah Rp.1.500.000/bln ditambah  biaya listrik dan internet, jika diberikan dalam bentuk uang maka bisa mencapai Rp.2.000.000. 

Total benefit bekerja di PT XYZ bisa senilai Rp.9.000.000 sedangkan di PT ABC bisa hanya senilai Rp.6.000.000 karena masih harus membayar biaya kos, listrik dan air sendiri.

Tentu saja yang paling "mendekati" keadilan adalah jika fasilitas tersebut dipersamakan dengan nilai uang sehingga bagi yang menerimanya dianggap sebagai penghasilan dan menjadi obyek pajak penghasilan sehingga beban potongan PPh bagi karyawan PT ABC dan PT XYZ akan proporsional dengan benefit yang diterimanya. Itulah salah satu yang mendasari mengapa natura/kenikmatan setelah Undang-Undang HPP dapat menjadi objek pajak penghasilan.

Praktek Internasional

Ilustrasi dibuat oleh penulis
Ilustrasi dibuat oleh penulis

Tentu saja pengenaan pajak atas natura/kenikmatan ini bukan hal yang aneh. Malah justru negara-negara lain sudah menerapkan hal tersebut lebih dahulu.

Bahkan jika ingin meneliti, silakan gunakan keyword "fringe benefits" atau "fringe benefits tax" yang merupakan istilah umum di negara lain dalam bahasa inggris untuk natura/kenikmatan.

Australia misalnya sudah menerapkan Fringe Benefit Tax (FBT) sejak 1986. Jepang tidak memiliki istilah khusus, tetapi natura menjadi obyek witholding tax disana yang sejenis dengan PPh Pasal 21 di Indonesia. 

Singapore, Jerman dan tentu saja Amerika Serikat menerapkan hal yang sama bahwa benefit yang diberikan dalam bentuk non tunai merupakan penghasilan bagi si penerimanya. Justru di Indonesia agak ketinggalan dalam memperlakukan PPh Pasal 21 atas natura/kenikmatan ini.

Modus Penghindaran Pajak

Kenapa negara lain sudah lama menerapkan FBT? Karena jika tidak dikenakan pajak, beberapa High Wealth Individual (HWI) atau orang-orang super tajir yang memiliki perusahan-perusahaan multinasional menggunakan skema benefit supaya penghasilan mereka tidak dikenakan pajak penghasilan. 

Mereka lebih memilih tidak dibayar dengan gaji, tetapi memilih mendapatkan fasilitas seperti rumah, makan mobil, dan yg paling populer adalah dengan stock option.

Saat sultan-sultan ini membutuhkan uang tunai mereka menggunakan saham-saham mereka ini sebagai jaminan ke bank dan meminjam uang. 

Asalkan nilai saham mereka terus meningkat, bunga yang dibayar dan pinjaman yang harus dilunasi akan selalu bisa terbayar dng capital gain dari saham mereka.

Dengan skema ini, para sultan bisa menghindari pajak penghasilan atau tidak dipotong PPh Pasal 21 sama sekali karena apa yang mereka terima adalah dalam bentuk fasilitas, bukan uang tunai.

Selain itu, benefit seperti ini biasanya tidak diatur dalam tax treaty jadi dimungkinkan HWI di suatu negara (misal warga negara Italia) meminta fasilitas dari anak usaha perusahaan miliknya di negara lain yang kira-kira tidak akan mengenakan pajak atas natura seperti di Indonesia.

Negara lain sudah lama mencegah hal tersebut dan mengenakan FBT dan sudah sewajarnya di Indonesia juga dikenakan untuk menghindari hal yang sama. 

Meningkatkan Kesejahteraan Pegawai

Tentu saja tidak semua fasilitas langsung menjadi obyek pajak penghasilan. Dalam PMK-66 tahun 2023 telah diatur batasan-batasan natura/kenikmatan apa saja yang tidak perlu menjadi obyek pajak penghasilan.

Batasan ini bervariasi tergantung bentuk natura/kenikmatan yang biasa disebut "prinsip kepantasan". Apa iya makanan minuman dalam bentuk snack box menjadi penghasilan? 

Maka dari itu dibuatlah batasan untuk makanan-minuman asalkan diberikan kepada semua pegawai maka bukan penghasilan bagi penerimanya sesuai prinsip kepantasan tadi.

Dengan adanya batasan ini, maka perusahaan dapat meningkatkan kesejahteraan pegawai dengan cara memberikan beberapa fasilitas asalkan masih berada dalam prinsip kepantasan tadi tanpa harus menaikkan gaji atau tunjangan.

Bagi perusahaan, pemberian fasilitas berupa natura/kenikmatan ini dapat dibiayakan (dengan syarat berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan) jadi dapat mengurangi Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) sehingga merupakan win-win-solution.

Dengan skema ini, baik karyawan maupun perusahaan lebih diuntungkan dengan skema natura/kenikmatan di UU HPP yang baru.

Berhubung soal natura/kenikmatan ini bisa sangat kompleks dan variasinya bisa sangat luas, apa yang diberikan oleh satu perusahaan skemanya bisa berbeda dengan perusahaan yang lain silahkan konsultasikan ke Kantor Pelayanan Pajak terdaftar melalui petugas fungsional penyuluh.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun