"UHUK! Heheh, rupanya aku dibawa kemari karena masalah itu, kupikir karena membuang sampah sembarangan. Aku sedari tadi mengkhawatirkan sesuatu yang salah, kupikir kalian marah karena sebungkus permen--" papar sang pria.
"JANGAN BERCANDA!" Si kepala investigator menyela penjelasan sang buronan seraya menghentakkan kedua tangannya ke atas meja, emosinya mulai meluap-luap. "Katakan mengapa kau membunuh enam pejabat pemerintah atau kuremukkan tubuhmu sekalian!"
"Tenang, Pak Polisi. Aku pasti menjawabnya, kok. Alasanku simpel saja: aku hanya ingin kedamaian."
"Kedamaian? Kedamaian macam apa yang bisa kau dapatkan dari membunuh pejabat negara!? Kau membunuh orang-orang yang memberimu makan dan tempat tinggal, tahu!?"
"Oh, begitukah? Mereka yang memberiku makan dan tempat tinggal?"
"Dasar tolol! Tentu saja!"
"Lantas mengapa mereka tak memberikan makan dan tempat tinggal untuk anak-anak jalanan di setiap sudut ibukota?"
Lagi-lagi keheningan berkuasa, ketiga polisi di ruangan interogasi seketika terjerat oleh kebisuan. Mereka menatapi sang pria dengan sorot penuh rasa jengkel, mereka tak bisa melawan argumentasi pahit sang pria. Kenyataannya memang demikian, pemerintah seakan mengabaikan eksistensi warga kelas bawah yang hidup di tempat-tempat kumuh.
---
Sementara itu, dibalik kaca ruang interogasi, tampak seorang jenderal polisi bintang tiga sedang mengamati jalannya interogasi secara seksama. Di dada kanannya tertulis nama Yusuf Tarigan, tentu saja itu adalah namanya. Ia didampingi oleh seorang ajudan di sebelah kirinya yang tengah berjibaku dengan sebuah komputer tablet. Ajudan ini tampak tak terhibur dengan setiap adegan interogasi di ruangan sebelah, matanya begitu terpaku ke layar tablet.