"T-tolong, j-jangan bunuh aku ... "
"Aku tidak begitu tertarik untuk membunuhmu, Jenderal. Aku punya rencana yang lebih unik," sang pria lantas mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Kau tahu ini apa? Ah, tentu saja kau tahu, ini adalah smartphone khusus yang dirancang untuk aparat keamanan agar bisa mengakses banyak hal, termasuk peluru kendali jarak jauh. Aku merenggutnya dari salah satu anak buahmu yang tewas. Pertanyaannya adalah apa yang terjadi jika aku menekan tombol berwarna merah ini?" Lanjut sang pria sembari menyodorkan layar smartphone-nya kepada sang jenderal.
" ... " Jenderal Yusuf menatapi layar ponsel dengan kerut-kerut penuh tanda tanya, ia tak memahami arah pembicaraan sang pria.
"Jika aku menekan tombol ini, maka Kurniasih Hernawati, Umar Kurniawan Tarigan, dan Tantri Andrissa Tarigan akan hancur berkeping-keping oleh ledakan bom C4 yang kupasang di sekitar rumahmu. Well, mereka sedang menunggumu pulang untuk makan malam bersama, bukan begitu?"
"Sialan. Sialan. SIALAAAN! Jangan kau sentuh mereka! Jangan kau sentuh merekaaa!"
"Atau apa? Kau akan membunuhku? Kau akan mengirimkan satu batalion Densus AT-13 untuk memburuku? Bekerjasama dengan Kopassus? Silakan pilih investasi apa lagi yang akan kuhancurkan berikutnya."
"Ugh ... b-bajingan. T-tolong jangan sakiti keluargaku, aku mohon."
"Kalau begitu jawab pertanyaanku. Simpel saja."
"B-baiklah! Baiklah! Orang yang memimpin operasi pembantaian di Kampung Rimbun pada waktu itu adalah seorang pria gundul berwajah datar. Ia tidak memiliki identitas apapun, sama sepertimu, seperti hantu. Tetapi aku masih ingat callsign-nya, ia dipanggil Jurig oleh operator lapangan yang lain."
Sang pria sontak berdiri mematung selama beberapa saat, tatapannya pun mengunci ke wajah Jenderal Yusuf. Ia tercenung mendengar pengakuan pria berseragam tersebut. "Botak? Jurig?"
"Ya. S-sumpah. Hanya itu yang kutahu. A-aku mohon, jangan sakiti keluarga--"