Setiap tahun Indonesia selalu disuguhkan perdebatan yang meliputi SARA. Pola semacam itu seringkali ditemukan saat hari raya agama. Direktur Riset SETARA Institue Halili Hasan mengatakan sejak 2007 pelanggaran KBB dan intoleransi menjadi persoalan terbesar pada level negara. Pada periode pertama Jokowi, terdapat 846 peristiwa pelanggaran KBB dengan 1.060 tindakan. Sementara pada periode kedua ada 200 peristiwa pelanggaran KBB dengan 327 tindakan: 168 tindakan negara dan 159 non-negara.[1]Perdebatan antar warga masyarakat kian masif didukung makin eksesnya jagat digital. Persoalan deontologis menjadi persoalan yang rutin untuk dipersoalkan. Moralitas dan persoalan etis bukan lagi ranah privat yang sifatnya personal antara pemeluk agama dan keimanan mereka, tetetapi menjadi ranah publik yang mana orang lain turut berpartisipasi dalam menyikapi itu. Tiap orang memandang sebuah idealitas dan mengkontektualisasinya pada realitas bersama dengan cakrawala iman yang berbeda. Pasalnya iman tidak bisa disepadankan untuk menjadi tesis dan anti-tesis sehingga menghasilkan sintesis. Keimanan itu merupakan tesis yang diyakini tiap pemeluknya. Maka apabila kita menaruh suatu cita-cita kehidupan bersama umat beragama dalam kerangka kerukunan antar warga masyarakat, suatu penyeragaman iman merupakan suatu hal yang sulit, bahkan tak mungkin. Lantas langkah praktis apa yang perlu diusahakan? Seberapa penting toleransi perlu diupayakan?
Toleransi dan Keteraturan
Suatu keteraturan memiliki lawan kata kekacauan. Sebuah keteraturan tentu merupakan tujuan utama daripada upaya perwujudan toleransi saat ini. Toleransi mengimplikasikan adanya pembiaran atau suatu penerimaan atas suatu perbedaan. Ketika tubuh tidak bisa mentolerir zat/entitas yang masuk, tubuh akan memiliki mekanisme biologis sebagai reaksi atas diskonformitas itu. Pergerakan mahasiswa pada tahun 1998 merupakan reaksi pada diskonformitas kondisi suatu negara. Para mahasiswa sudah tidak bisa lagi mentolerir situasi dan kondisi yang ada. Di sisi lain, para mahasiswa juga mentolerir segala kemungkinan buruk pada mereka demi terjadinya reformasi, begitupun tubuh yang mentolerir rasa pahit pada pil obat supaya tubuh bisa kembali baik. Dibutuhkan sebuah toleransi untuk kembali pada keteraturan.
Toleransi tidak selalu menuntut pengorbanan yang besar. Tidak perlu untuk menjadi seorang altruis dalam mewujudkan toleransi. Keteraturan yang diimpi-impikan itu tak selalu menuntut suatu pengorbanan. Paradigma mengenai toleransi itulah yang perlu kembali ditata dan dikukuhkan. Toleransi bukanlah jembatan untuk menciptakan kerukunan itu sendiri. Justru bagaimana membangun jembatan untuk mewujudkan toleransi itulah yang perlu. Ketika kita terus gagal membangun jembatan itu, kita perlu merefleksikan apa yang membuat kita selalu gagal. Mungkinkah itu sebuah bencana konstruksi besar atau kerikil-kerikil yang kecil namun menyakitkan ketika diinjak? Tentu amat disayangkan apabila perjalanan suatu bangsa besar terdistraksi oleh karena banyaknya kerikil. Maka langkah praktisnya adalah membangun sebuah jembatan yang sekiranya efisien dan kokoh. Jembatan itu adalah dialog.
Dialog untuk Toleransi
Membangun dialog bukan semata-mata sebuah rekonsiliasi yang restoratif, melainkan suatu langkah mencari titik temu antara perbedaan yang beraneka ragam. Mgr. Ignatius Suharyo dalam Catholic Way menuliskan bahwa dialog antarumat beragama persis merupakan cara orang beradab yang saling berbeda keyakinan agamanya untuk berkomunikasi mencari cara hidup bersama.[2] Beliau juga mengisyarakatnya akan adanya dialog pakar, yaitu suatu dialog pada tataran keahlian. Agama sebagai suatu bagian dari sistem sosial yang diimani oleh masing-masing anggota masyarakat juga memiliki suatu disiplin ilmu yang hanya dikuasai oleh beberapa pakar agama. Menurut beliau seiap agama punya kekhasan teologisnya masing-masing tetapi tidak sama dengan eksklustivitas etis, melainkan inklusitivitas etis. Perbedaan itu juga berarti perbedaan cara bertoleransi. Dalam agama Islam toleransi yaitu, harus menghormati keyakinan orang lain. Namun, alam sikap saling menghormati itu kita tetap ada batasannya, yaitu agamamu agamamu dan agamaku agamaku.[3] Berbeda dengan Gereja Katolik yang memiliki pemahaman akan penghargaan terhadap ajaran agama lain selagi itu tidak menyamakan ajaran dengan ajaran agama lain.
Dialog perlu dilandasi suatu kesadaran bersama untuk hidup bersama dalam keteraturan. Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa perlu dibangun sebagai suatu fantasi yang menjadi pendorong hasrat bagi warga negara untuk mewujudkan cita-cita itu. Fantasi adalah skenario yang mengkonstitusi ruang kosong subjek agar dapat memproyeksikan hasratnya.[4] Hasrat mencari apa yang dirasa subjek tidak dimiliki olehnya. Masyarakat sebagai subjek dalam kehidupan berbangsa memiliki Pancasila sebagai pedoman cita-cita kehidupan berbangsa, maka ketika Pancasila tidak terimplementasi dengan baik, masyarakat sebagai subjek berhasrat untuk mewujudkan itu. Survei oleh Alvara Research Center, “Indonesia Moslem Report 2019: The Challenges of Indonesia Moderate Moslems”, menunjukkan bahwa 81.6% meyakini bahwa ideologi Pancasila penting sebagai fondasi negara, sementara 18,3 % lainnya meyakini bahwa agama sebagai landasan utama lebih penting.[5] Ini artinya mayoritas sudah memilki kepercayaan dan keyakinan akan Pancasila sebagai cita-cita bersama yang perlu diwujudkan. Namun tentu bukan berarti melalaikan fundamentalis agama yang tak selaras dengan mayoritas suara masyarakat itu. Kita tetap mengedepankan dialog supaya tercipta suatu saling kepahaman satu sama lain.
[1] https://tirto.id/kasus-intoleransi-terus-bersemi-saat-pandemi-f5Jb diakses pada 12 Februari 2022 15.05.
[2] Mgr. Ignatius Suharyo, The Catholic Way, Kanisius, Yogyakarta, 2009, 84.
[3]https://mui.or.id/tanya-jawab-keislaman/28363/apakah-yang-dimaksud-toleransi-dalam-keragaman-dan-bagaimanakah-batasan-batasannya/ diakses pada 14 Februari 2022 11.04.
[4] R. Setiawan, Subjektvitas dalam Filsafat politik Alain Badiou dan Slavoj Zizek, IRCISoD, Yogyakarta, 2021, 102.