Hari ini, Selasa tepatnya tanggal 4 Juni 2024 merupakan waktu yang penuh dengan emosional. Â Tepat 15 tahun yang lalu, Mama dan kami enam bersaudara hidup tanpa bapak. Â
Almarhum Bpk. Matius Bulu Mesang yang akbrab disapa dalam konteks Sumba dengan sebutan Ama Hani. Telah berpulang ke Rumah Bapak di sorga pada tanggal 4 Juni 2009 sekitar jam 6 sore waktu Indonesia Tengah.Â
Saat itu, beliau meninggal karena penyakit komplikasi. Sejumlah bagian badannya bengkak dan kuning. Perlahan kurus dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
Pihak keluarga telah melakukan berbagai cara baik secara medis maupun secara tradisional untuk kesembuhan ayah kami. Namun, Sang Pencipta tahu yang terbaik untuk ayah kami.
Mama, dan kami anak-anaknya enam orang harus menerima kenyataan ini. Padahal secara manusia, kami sangat kehilangan sosok bapak yang sangat baik dan mengayomi kami.Â
Menurut ka Yanus (lengkapnya: Oktavianus Dapa Ate, saat ini dipanggil Bapak Jeremi), anak kelima, memandang almarhum Bapak. Matius Bulu Mesang sebagai sosok pejuang keluarga, pekerja keras demi keluarga. Â
Selain itu, bapak suka menolong orang yang susah. Menjadi tukang bangunan yang tidak pakai standar. Dan meneladani Yesus sebagai Tukang kayu untuk bangunan."
Saya sendiri, sebagai anak bungsu, mengenal sosok Almarhum Matius Bulu Mesang adalah seorang yang menghidupi marganya: Bulu Mesang. Terutama kata Mesang artinya baik hati dan peduli kepada orang lain.Â
Saya mengenal beliau sebagai sosok yang pekerja keras. Sebagai seorang tukang pertama saat itu di kecamatan kami. Ia banyak membantu orang bangun rumahnya.Â
Bahkan sampai beliau meninggal, masih ada orang mengaku, kalau mereka belum melunaskan uang tukang bapak. Â Namun, bapak tidak pernah tagih. Â Ia sangat mengerti keadaan orang yang ia bantu. Â Â
Ada satu memori yang sampai saat ini saya tidak pernah lupa. Â Bahkan saya beberapa ceritakan kepada Nael. Â
Di mana kala itu, hamper setiap pagi, bapak sudah bangun pagi-pagi menyalakan api, membakar beberapa ubi atau singkong untuk kami anak-anaknya sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
Sementara Mama membuatkan kami teh. Â Itu hamper setiap hari. Â Jika orang lain apalagi di perkotaan, sarapannya roti, nasi, sayur, disertai lauk dan susu. Â Tetapi kami tidak demikian.Â
Kalau pun sarapan, hanya buburnya saja. Â Namun, bukan bubur seperti di Jawa. Â Lebih tepatnya air bubur, alias air tajin. Â Tinggal kami tambahkan sedikit garam. Â