Mohon tunggu...
Kopi santri
Kopi santri Mohon Tunggu... Berpeci pecinta kopi

Membaca atas nama Tuhan, Menulis untuk keabadian, Bergerak atas dasar kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sesingkat Itu

31 Januari 2025   23:25 Diperbarui: 31 Januari 2025   23:25 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar kecewa Malam (Sumber: pinterest)

"Betulkah?" Tentu tidak.
Bertahun-tahun lamanya kita bersua
Bertukar kabar meski sekedar sapa
Perantara maya jadi pelipur rindunya

Bodohkah aku yang tertambat denganmu
Namun kala itu tak sempat berjumpa nyata?


Tidak.


Lantas salahkah aku ketika semuanya telah usai, aku siapkan kereta kuda kembali dan menjemputmu?

Ah, sudahlah. Asa tak terbalasku hanya akan menjadi penyamun. Ia rampas semua pikir, lucuti semua kata dan suguhkan penolakan padaku yang kembali dari medan juang tertatih-tatih.
Dengan segala kehendak yang bara
Di sini Aku kalah talak dalam cinta
Menghuni sejuta kenangan yang terkubur deretan kata
Yang hanya bisa berbisik dalam hati yang terluka.

Sesingkat itu?

Kau palingkan wajahmu dari muka
Tanpa kau tahu sesak, getir yang kurasa
meski sekedar jumpa beberapa jam yang akan berlalu
Tanpa kau tahu bagaimana caraku memantaskan diri untuk sekedar mengatakan ketulusan hati.
Setelah diterjang badai, ombak dan terhempas di tanah Pasundan bertahun-tahun lamanya.
Pasang surut rasa ini digeruduk dusta, namun semua itu tak menggeser sedikit pun namamu dari singgasana.

Sesingkat itu?

Bertahun-tahun lamanya aku menyimpan rasa cinta ini padamu, hingga dengan segunung harapan kuputuskan untuk kembali menjadi pengembara, menjadi gelandangan ilmu di Ibu Kota, berharap ketika berjumpa denganmu bukan sekedar kata cinta yang terucap, melainkan keseriusan untuk hidup bersama

Pendusta! Katamu.

Saat yang kudapat penolakan sekian kalinya.
Begitulah kenyataannya.
 Di bilik kamar aku kembali dari persimpangan jalan takdir dengan mata sayu nan letih
Pilu yang kau taburkan entah berapa pekan atau mungkin windu dapat kuredam
Sedangkan namamu masih bertengger di singgasana iga putih tulang dada.

Sesingkat itu?
Tidak.

Aku tak ingin seperti hayati yang mati dengan cintanya
Dan aku jua tak sudi menjadi Zainuddin yang menyesal lantaran wibawa
Namun jika engkau menginginkan rupa yang elok, menawan bergelimang harta, bermandikan emas, diselimuti intan permata dan kehidupan mentereng.
Maaf saja kau bukan lagi ratu cemara yang aku puja dan kudamba.
Kau hanyalah hewan malang yang bersarang di balik jeruji rupa.

ucap pena usang yang terbuang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Hantu Pocong Lembang, Hiburan Siang di Jalan Macet!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun