Mohon tunggu...
Kopi santri
Kopi santri Mohon Tunggu... Lainnya - Berpeci pecinta kopi

Membaca atas nama Tuhan, Menulis untuk keabadian, Bergerak atas dasar kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Puasa Sebagai Media Taqwa

2 April 2023   21:20 Diperbarui: 2 April 2023   21:49 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinters: bandung sanset

 Oleh: Kopi Santri

Berbicara tentang puasa di bulan ramadhan bagi kalangan masyarakat muslim hal ini tidaklah asing. Sebab, puasa merupakan kewajiban yang harus dijalani bagi mereka yang beragama islam karena merupakan bagian dari ajarannya yang termuat dalam rukun islam. Kemudian bagi orang-orang yang tidak menjalankannya dikenakan kewajiban"mengqodho" atau membayar fidiyah sebagai bentuk pengganti atas kewajiban yang ditinggalkan.

Dalam istilah fiqih, puasa diartikan menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa (seperti makan dan minum) sejak terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Akan tetapi, pada kenyataannya puasa tidak sebatas demikian. Dalam urusan muamalah, salah satu tokoh intelektual indonesia sekaligus budayawan Emha Ainin Nadjib yang dikenal dengan Cak Nun sering memberi gambaran tentang hal-hal yang harus digas dan direm. Dalam konteks ini berpuasa juga dapat dipahami sebagai sebuah proses ngerem apa saja yang kita senangi. Tidak terbatas pada urusan makan dan minum saja. Melainkan juga dalam kesenangan-kesenangan duniawi lainnya.

Namun saat ini puasa telah mengalami proses konotasi luar biasa. Hari ini puasa dimaknai sebatas menahan lapar dan minum saja. Puasa hanya dimaknai sebatas ritual menahan sementara makan dan minum dari datangnya waktu fajar kemudian diluapkan ketika adzan maghrib tiba. Lebih lanjut, tidak sedikit dari kita yang melaksanakan puasa karena lebih tertarik oleh iming-iming berlipat gandanya amal sampai tujuh ratus kali lipat. Sehingga beribadah menjadi seperti transaksi antara penjual dan pembeli yang orientasinya hanya laba, laba dan laba. Dalam hal ini tersbesit pertanyaan pada diri penulis, "Lantas puasa seperti apakah dan bagaimanakah yang benar-benar bisa dinilai sebagai puasa? Nah, pada tulisan ini kita sedikit demi sedikit atau istilahnya nyicil untuk menemukan jawaban itu.

Kita ketahui bersama bahwa lafadz "Shaum" disebutkan satu kali, yaitu dalam surah Maryam ayat 26. "Fa kuli wa syrabi wa qarri 'aina, fa imma tarayinna min al-basyari ahadan fa quuli inni nadzartu li al-rahmani shauma, fa lan ukallima al-yauma insiyya" Dalam ayat tersebut, para mufassir mengartikan shaum dengan al-shamt yang bermakna diam; tidak berkata dan menahan diri dari berkata. Hal tersebut dipertegas dengan kalimat setelahnya, fa lan ukallima al-yauma insiyya, "Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun hari ini."

Sedangkan lafaz Shiyam dalam Al-Quran disebutkan sembilan kali yang terdapat di dalam empat surat di tujuh ayat. Yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat 183 disebutkan sebanyak satu kali, 187 disebutkan sebanyak dua kali dan di ayat 196 disebutkan sebanyak dua kali, kemudian di surah An-Nisa ayat 92 disebutkan sebanyak satu kali, di surah Al-Maidah 89 disebutkan sebanyak satu kali dan ayat 95 sebanyak satu kali, dan surah Al-Mujadalah ayat 4 satu kali. Seluruh kata Shiyam dalam empat surat di ketujuh ayat tersebut bermakna puasa lebih spesifik secara fikih yaitu menahan dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, dari terbitnya fajar pada waktu Subuh yang disertai niat hingga terbenamnya matahari pada waktu maghrib dan semua aktivitas tersebut diaktualisasikan secara bersamaan dalam waktu yang sama oleh orang yang berpuasa yakni melibatkan aspek gerakan sosial dan kebersamaan. Sedangkan Shaum lebih universal, yaitu menahan diri dari segala perbuatan atau perkataan, baik karena berpuasa -sebagaimana dalam konteks fikih- atau tidak. Tidak hanya dalam hal hal yang membatalkan puasa secara fikih saja, namun juga menahan dari berbagai perbuatan dan ucapan lainnya. Lebih gampangnya kita menemukan nilai-nilai universal dari shaum tersebut.

Jika kita perhatikan secara kadiah bahasa, lafadz Shaum atau Shiyam, keduanya sama-sama terbentuk dari lafadz "Shaama-Yashuumu" yang bermakna menahan dari sesuatu, baik perkataan atau perbuatan. Dalam tataran Ilmu Shorf, keduanya merupakan bentuk Masdar. namun, untuk lafaz Shiyam mengikuti wazan Fi'al yang menurut sebagian ulama mengandung makna Mufa'alah, Musyarakah, Muqawamah dan Mujahadah serta makna-makna lain yang terkandung dalam wazan Mufa'alah. Makna Mufa'alah yang terkandung dalam wazan Fi'al terdapat aspek adanya sebuah upaya atau usaha dalam beribadah secara syariat, yang mana kandungan makna ini tidak terdapat dalam lafaz Shaum.

Berbicara tentang puasa, selain dari beberapa aspek di atas dirasa perlu kita mengkaji pula dari aspek dimensi psikologi perkembangan guna mengetahui jikalau ukuran berpuasa itu hanya pada taraf tidak makan dan minum sudah cukup, itu dalam disiplin ilmu psikologi perkembangan disebut tingkatan puasanya fase anak-anak sebab fase tersebut sedang gemar-gemarnya potensi biologis mendominasi. Kemudian ketika sudah memasuki fase perkembangan dewasa baik dewasa awal maupun akhir seharusnya kita mulai memahami bahwa puasa merupakan kendali diri, puasa yang tidak hanya melibatkan potensi biologis semata melainkan melibatkan aspek intlektual dan spiritual, atau dalam dunia neurosains disebut melibatkan potensi IQ, EQ dan SQ. Hal ini jelas dikarenakan pada fase remaja atau dewasa kita mengalami fase yang di dalam fiqih disebut baligh yang menurut para mufasir menyebut sudah mampu memberdayakan akalnya dan menurut para sufi menyebutnya sudah mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Kemudian muncul pertanyaan baru, "Lantas bagaimanakah dengan orang yang puasanya baru sampai taraf makan dan minum? Apakah adanya kemungkinan faktor potensi dalam diri manusia yang belum optimal atau berkembang? Atau mungkin juga faktor eksternalnya? Untuk mengkaji lebih jauh tentang permasalahan-permasalahan di atas, nampaknya perlu dibuat forum diskursus untuk menemukan jawabannya.

Berbicara tentang puasa, pada hakikatnya kembali kepada diri kita masing-masing. Dalam artian kita bebas memakai ramadhan ini untuk shaum atau shiyam. Jika kita menggunakannya untuk shaum, capaian pada pola vertikalnya ialah mendapatkan nilai-nilai puasa secara universal, namun jika ramadhan ini kita gunakan untuk shiyam maka ada satu prinsip-prinsip nilai yang kita sepakati dan ditegakkan yang kemudian diaktualisasikan bersama-sama. Kita bebas memilih apakah ramadhan kali ini ingin kita desain untuk menjadi nilai kebangkitan atau yang penting mendapatkan hikmah universalnya, semua kembali kepda diri kita masing-masing dan tentunya kemampuan kita dalam mengaktualisasikannya. Tapi setidaknya pada saat ini kita harus punya pilihan ingin "shaum" atau "shiyam", harapannya minimal kita mendapatkan "shaum" dan syukur-syukur kita mendapat "shiyam".

Jika saya pinjam kalimat dari salah satu tokoh intelektual muslim indonesia yang akrab dipanggil Cak Nun, di mana Ia mengatakan bahwa Puasa itu mata pelajaran ataukah mata ujian bagi yang menjalankannya? Kalau pelajaran, para pelakunya berpindah dari belum tahu menuju tahu. Sebagaimana peristiwa yang dialami oleh umat Nabi Saw. ketika datangnya perintah wajib berpuasa, dan di sana jika kita lihat dari aspek psikologisnya terdapat transisi dari hal yang belum tahu tentang puasa menjadi tahu tentang puasa dan mekanismenya. Namun jikalau ujian, maka konteksnya ialah transformasi dari hal belum bisa menjadi bisa, dari belum mau menjadi mau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun