“The only real treasure is in your head. Memories are better than diamonds and nobody can steal them from you” ― Rodman Philbrick Kenangan, bisa membuat orang terdiam di suatu masa dan terus menengok ke belakang, tapi juga bisa membantu orang untuk berjalan maju ke depan. Ada orang yang menyimpan kenangan diam-diam di dalam pikiran, ada juga yang ingin membagikannya kepada dunia. Ada orang yang mengumpulkan kenangan menjadi kolase, ada juga yang membangkitkan kenangan melalui nuansa dan cita rasa, seperti yang dilakukan oleh Kedai Tjikini. Aroma dan alunan lagu Indonesia tempo dulu langsung terasa begitu kaki menapak ke dalam ruangan Kedai Tjikini. Bagaikan mengunjungi rumah kakek nenek, kamu akan melihat interior jaman dulu dengan langit-langit tinggi, tiang, lampu gantung, dan kusen pintu berwarna cokelat yang membangkitkan kenangan masa kecil. Memang, dari awal tujuan dari berdirinya kedai yang didirikan oleh Dharmawan Handonowarih, Heni Wiradimadja, Enrico Halim, dan Leo ini adalah menjadi sebuah “rumah” yang “ramah” untuk semua orang. Tentu saja menunya adalah makanan rumahan yang sebagian di antaranya jarang banget bisa kamu temuin di mana-mana. Meskipun baru berdiri tahun 2011, sebuah pertanda kalau Kedai Tjikini akan “tumbuh” ini sebenarnya sudah terasa dari tahun 1990an. Waktu itu, salah satu pendirinya Dharmawan Handonowarih, menemukan seonggok kursi tua bekas sebanyak 40 buah dan sudah reyot semua. Agak lama setelah kursi-kursi tersebut terbeli ia baru tahu kalau kursi itu adalah model tahun 1940an yang sering menjadi kursi sewaan kalau ada pesta, atau dipakai sebagai tempat duduk tukang cukur di bawah pohon. Pria yang suka memasak ini merasa kursi itu seakan memberi jalan untuk suatu hari kelak ia akan membuat sebuah restoran. Begitu lama impian itu terpendam hingga akhirnya kursi-kursi tersebut menghiasi interior Kedai Tjikini sekarang ini. Sebelum menemukan lokasi di daerah Cikini, Dharmawan dan Enrico Halim pernah berkeliling mencari tempat ke depot-depot tua di kawasan jalan Abdul Muis, jalan Kesehatan, Salemba Tengah, jalan Samanhudi, Menteng, Guntur, Pintu Air, dan Pasar Baru, tapi nggak pernah menemukan tempat yang bisa dikontrak. Mungkin memang sudah berjodoh dengan daerah Cikini, mereka mendapatkan lokasi setelah rekannya menutup salah satu cafe di sana. Dari situlah kemudian nama Tjikini diambil, dibumbui dengan penggunaan ejaan lama yang menunjukkan identitas bahwa daerah itu sudah lama ada. Konsep kedai tempo dulu ini nggak serta merta dibuat hanya karena para pendirinya penyuka makanan rumahan jaman dulu. Dharmawan dan Enrico adalah salah dua orang yang sangat peduli dengan pemeliharaan sejarah Indonesia. Dulu, mereka berdua pernah menggagas gerakan Warga Peduli Bangunan Tua (Walibatu) bersama dengan teman-teman yang lain. Bisa dibilang Walibatu ini adalah tempat untuk menyuarakan dan menggerakan kegiatan yang memedulikan perawatan dan pemanfaatan bangunan tua sebagai bagian dari penghormatan pada sejarah sebuah kota. Tentu kamu juga tau kan banyak bangunan tua di Jakarta yang dihancurin karena alasan ekonomi, atau dianggap nggak berguna. Selain itu, meskipun belakangan apresiasi orang terhadap bangunan tua memang meningkat (terlihat dari menjamurnya beragam tur ke kota tua, museum, dan bangunan bersejarah), pemerintah masih belum melakukan sesuatu yang berarti terkait dengan pemeliharaan bangunan tua tersebut. Dharmawan cerita kalau ada sebuah gedung yang ambruk di taman Fatahilah, pusat kawasan yang disebut-sebut sebagai “kota tua” yang berharga. Di sinilah Kedai Tjikini hadir untuk menginspirasi orang bahwa bangunan tua – dengan sebuah fungsi/peran baru yang relevan dengan sekitarnya – bisa menjalankan kewajiban ekonominya, dan dia nggak menjadi beban karena ketuaannya. Kedai Tjikini menyediakan makanan atau minuman dari para pembuat yang udah membuatnya sejak dahulu kala. Sebut saja es krim rumahan ala Tjanang (1951), Ragusa (1932), dan Baltic (1939). Juga ada minuman bersoda, Sarsaparila Cap Badak, yang dibikin di Pematang Siantar sejak 1916. Kue-kue yang ada di dalam kedai diambil dari Toko Oen di Semarang yang sudah menjual kue kering sejak tahun 1936. Kedai Tjikini juga menyajikan kopi dari Warung Tinggi (Tek Soen Ho) yang membuat kopi sejak 125 tahun yang lalu, kopi Aroma Fabrik dari Bandung (1930), dan warung-warung penjual kopi tua, seperti warung kopi Wong Hin (kini bernama Bus Kota) yang udah ada di pasra Meester, Jatinegara sejak 1936. Seperti yang dikatakan oleh Dharmawan, produk makanan ini nggak hanya membangkitkan suasana romantis jaman dulu, tapi juga menjelaskan kalau kualitas makanan/minuman selalu dijaga karena dikerjakan oleh orang-orang yang menjalankannya dengan sepenuh hati. Nggak hanya mengenyangkan atau melepaskan dahaga, Kedai Tjikini ingin menyampaikan bahwa setiap makanan dan minuman yang dijual mempunyai cerita-ceritanya sendiri, seperti halnya kursi-kursi tua cantik yang dibeli dari pasar loak dan setia menjadi tempatmu duduk ketika sedang berbagi cerita dengan teman-temanmu di kedai itu. Kedai Tjikini Jl Cikini Raya 17, Jakarta Pusat +62 21 398 350 94 | +62 21 319 355 21 Tjikini.com | info@tjikini.com | @tjikini Artikel terkait: 1. Kedai Kopi yang Menginspirasi 2. “Pay It Forward” di Kedai Kopi Corner Perk 3. Mengumpulkan Kenangan dengan Kolase 4. Empati dan Etika di Kedai Kopi 5. Antara Kreativitas, Kopi, dan Kedai Kopi Artikel berasal dari: Kopikeliling.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H