Mohon tunggu...
K Sawah
K Sawah Mohon Tunggu... -

Jangan remehkan saya karena saya muda.

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Wakil Rakyat"

5 Oktober 2014   06:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:19 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya wanita muda, dan dalam tahun ketiga di sekolah menengah atas di Jakarta, Indonesia. Saya lahir dan dibesarkan di ibukota yang tata kotanya berantakkan dan dijanjikan berlebihan oleh si Palsu, Fauzi Bowo. Dari umur saya, dapat diketahui, saya lahir ditengah- tengah porak poranda Negara karena Soeharto dan terjadinya event tahun 1998

Jujur, ketika saya melihat Indonesia sekarang, saya hanya ingin tertawa. Tertawa terbahak- bahak. Bukan dengan maksud jahat, dengan maksud lucu. Lucu bahwa Negara ini bisa lebih kacau dibandingkan dengan sebelumnya. Lucu Negara ini ngelawak di layar kaca di televisi rumah, lebih lagi di siaran layar kaca sedunia. Lucu. Lucu dan yang merasa hal ini lucu hanya saya.

Semua pejabat dan politisi merasa dan menunjukkan bahwa gedung dan kedudukan mereka adalah panggung sandiwara, bermainlah dan uang akan datang secara alami. Semua kartu dikeluarkan, bagai main game poker gratis dan tidak akan kehabisan chips dan 88% masih akan mendapat tarian pangku oleh penari striptis peliharaan yang tidak diketahui istri. Ya, ya saya membuka mata dan saya tahu. Apakah hal itu salah?

Saya rasa, dan ini adalah opini, dan sekali lagi dunia ini terbuka dan pendapat itu adalah hal yang wajar, semua orang- orang itu lupa bahwa, usia saya punya mata. Kami menonton. Kami tahu. Kami menyikapi dengan kritis. Kami tertawa. Oh ini berita bagi Anda kalau kami tidak seharian memikirkan integral atau data aktiva dan pasiva? Sekali lagi saya nyatakan lagi, ya, kami tahu. We’re aware.

Saya menonton. RUU Pilkada di layar televisi, “wakil-wakil” bertingkah bak binatang, lebih susah dikontrol dibandingkan kelas SMA yang berisi anak berisik. Semua ingin didengarkan. Semua ingin merasa pendapatnya penting. Tapi lupakah Anda, pendapat dalam demokrasi kita yang paling penting adalah pendapat rakyat? Saya lupa atau Anda lupa apa arti demokrasi itu sendiri. Anda semua ada karena rakyat. Rakyat pilih dan bayar siapa yang diinginkan untuk dipilih, yang pantas. Nah, ini dia kata yang paling penting. Pantas. Semua orang merasa dia Pantas. Dia punya fans. Pantas. Dia pernah korupsi. Oh, Pantas. Dia punya selingkuhan lebih banyak dari jumlah pilar di istana Negara. Aha,kamu bercanda? Pantas. Dia angkuh dan suka datang kerumah sakit memberi uang dan bisa dibilang “show off- jerk”. Pantas. Pantas. Dan kata ini dimainkan oleh orang- orang yang tidak sesuai. Mereka bermain lompat tali dengan kata ini.

Ketika saya pulang sekolah saya menjumpai spanduk “Pilkada oleh DPRD adalah amanat UUD 1945” Oh betapa berbedanya apa yang diajari di sekolah, realitas dan UUD itu sendiri. Sebelum ada yang berkata “Sekolah swasta sih,” Saya tidak mau bahas pendidikan dulu. Kan kalau benar, pasti silabus udah ada dari Depdiknas toh? Di sekolah, pemilihan dengan “wakil rakyat” itu pernah ada kok. Gak belajar sejarah ya? Soekarno dipilih oleh “wakil rakyat” dan akhirnya mau jadi presiden seumur hidup. Eh, orde baru bilang “ Oh hell no, koreksi total,” Hilang peraturan presiden seumur hidup itu, eh malah muncul presiden 32 tahun. Ya, kita bolak balik maju dan mundur dengan peraturan itu

Ketika semuanya sudah mau baik. Dan menurut saya hal itu adalah kemajuan. Datanglah angina topan yang mau mengganti semuanya. RUU Pilkada. Seriously? Mau mundur? Dalam pikiran saya waktu saya mendengar hal itu adalah “Wanita aja gak didenger pendapatnya kadang- kadang, dan lu serius mau stop dengerin pendapat rakyat sepenuhnya? Oh maaf ya, Negara ini ternyata bukan punya rakyat, punya si gendut, si topeng, si korup, si selingkuh dan si punya harta, oh gue gak punyahal yang mereka miliki mana mungkin opini ini bisa gue denger?” (setengah dari ini sarkastis)

Saat pemilihan anggota DPR juga. Ya Tuhan. Pernah gak pikir sekali aja, SEKALI AJA, coba, siapa itu wakil rakyat? Wakil itu berarti mewakili. Dia yang harusnya membawa pendapat rakyat demi keuntungan rakyat demi demokrasi yang berusaha dicapai itu. Dan isinya malah orang- orang yang tidak merakyat. Yang setiap hari rakyat lihat sebagai orang yang tidak rendah hati di MUKA UMUM dan ya pokoknya tidak tahu arti “biasa” itu apa. Pantas. Pantas jadi wakil rakyat. Sebagian besar rakyat itu orang yang berkekurangan. Kenapa wakil rakyat semua orang yang berlebihan ? Bukan maksud saya untuk semua orang berkekurangan jadi anggota DPR. Tapi mengapa nasib orang yang berkekurangan ditentukan oleh orang yang bisa beli apapun yang ada di market impor dunia? Kenapa tidak pilih orang yang merakyat? Oh saya tahu penuh bahwa presiden terpilih, adalah seorang yang merakyat, tapi setelah saya lihat kembali. Mau presiden sebaik apapun, tak ada guna jika legislatif tidak fungsional dan efektif. Mau presidennya adalah orang terbaik di dunia (baik secara rohani maupun jasmani dalam etik kerja) kalau yang bekerja di perwakilan rakyat adalah tikus, ya Negara itu digerogotilah.

Jangan kerjakan semua  hal atas nama demokrasi, atau demi rakyat. Jangan bikin kami pikir kami berhutang budi sama Anda. Anda wakil kami. Tunjukkan bisa wakili. Dengarkan kami. Dengar apa yang kami perlukan. Jangan tutup telinga dengan alasan “Haters gonna hate” Frasa itu bisa digunakan di belantika music atau selebritas. Sekarang anda di dunia yang berbeda. Di dunia politik, buka kedua mata, buka telinga dan dengar dengan baik. Dengar opini yang termuda dan tertua dan diantaranya.

Bukan hanya tentang uang dan wanita, ya kan?

Pikir sebelum kerja. Jangan langsung coret pendapat saya karena saya muda, wanita dan berpendidikan belum setinggi pendidikan anda. Saya punya hak dan saya memakai hak itu.

Tidak segampang yang dikira kan? Baru tahu ya, angkatan saya banyak bicara?

Oh ya, jangan tutup mulut kami dengan cekokan kurikulum ya. Kami tetap bisa bicara. Kami adalah sebagian besar dari netizen yang dapat mengecam anda di dunia maya. Dan dunia maya bebas, kebebasan berpendapat itu ada, coba cek juga di UUD 1945, baca ulang supaya tahu apa amanatnya. Saya tahu dan saya akan menonton dan memperhatikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun