Mohon tunggu...
Yudho Sasongko
Yudho Sasongko Mohon Tunggu... Freelancer - UN volunteers, Writer, Runner, Mountaineer

narahubung: https://linkfly.to/yudhosasongko

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi: Serasah Melejang Bumi

24 Oktober 2021   21:24 Diperbarui: 24 Oktober 2021   21:46 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guguran temui bumi yang resah gelisah
Rindu serasah untuk menghancur diri
Lebur bergambut di peraduan tanah
Ikat sang pelindung angkasa terpilih
Karbon yang bertapa di resap-resap bumi

Bumi ikhlas belai serasah hingga mati
Nyawanya untuk petapa-petapa karbon
Agar tetap diam hingga waktu tiba
Bak ujar cecair lava yang setia berdiam
Hingga sampai masa penghabisan

Serasah tepekur memeluk karbon
Sejoli ukir titimasa wana nusantara
Biakkan segala akar menghunjam
Tumbuhkan pokok pohon gemilang
Giring fauna menggirang abadiah
Hingga flora hijau maya-maya

Tetiba yang serakah durja membahana
Gerus petapa karbon berhumus
Pisahkan serasah oleh cakar-cakar besi
Tusuk peraduan terakhir yang dalam

Petapa-petapa karbon berhamburan
Berburai dengan serasah yang terbakar
Membumbung tinggi memanasi angkasa
Dipaksa berkumpul merumah kaca
Tuk tersulut ambang batas mengganas

Panasnya bangunkan petapa putih-putih
Yang beku berdiam di kutub Ibu Bumi
Seperti bara neraka sobek sejuk surga
Petapa putih leleh di bahari bumi
Hingga tak perlu purnama lagi
Tuk junjung air bahari tinggi-tinggi

Kemana lagi serasah gambut merajut
Kemana lagi burung enggang berdendang
Kemana lagi bekantan berkawan
Kemana lagi tajuk pohon menunjuk
Kemana lagi semut-semut merunut

Ambal hijau Ibu Bumi tercabut kalut
Merintih rindui serasah bersetia
Hanya asap legam yang menjawab
Membungkam telepati wana raya
Tak berjarak antara hancur dan lebur
Biadab menjungkir adab

Cik! Arkais anarkis pati
Alai-belai yang tak mandraguna lagi
Rahara berduit menang berdentang
Seperti nuraga yang menutupi candala
Bujuk hingga berbungkuk
Sembah sang penyantap rimba

Cik! Hujan turun tak segar lagi
Mengiris tulang menjengkang-jengkot
Mengasam hingga akar resam
Tiada lagi pelipur laras pancer
Hilanglah pengisi nada-nada kosong
Yang ditinggalkan rintik hujan
Sepi berpamit berganti raung gergaji

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun