Beberapa bulan yang lalu sebelum mewabahnya Covid-19, saya menghadiri sebuah acara keagamaan di Martapura Kalimantan Selatan. Setelah beberapa kegiatan tersebut kelar, langsung saja bergegas menuju Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di sana ada sebuah masjid kuno legendaris yang terbuat dari kayu endemik khas Kalimantan, Kayu Ulin.Â
Masjid ini didirikan di atas tanah wakaf milik Mirun bin Udin dan Asmail bin Abdullah seluas 1.047,25 m.Â
Masjid kuno Sua'da didirikan oleh dua ulama besar, yaitu Al Allamah Syekh H. Abbas dan Al Allamah Syekh H.M. Said. Masjid ini didirikan pada tanggal 28 Zulhijjah 1328 Hijriyah atau pada 1908 Masehi.Â
Para ulama pendiri masjid tersebut adalah keturunan dari ulama besar Kalimantan Selatan, Syeikh H Muhammad Arsyad Albanjari atau Datuk Kelampayan yang sangat terkenal di Nusantara.
Berdasarkan keputusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tanggal 1 September 1978 nomor 47/Z.3/DSP/78, masjid ini disahkan sebagai salah satu peninggalan sejarah, peninggalan purba, dan peninggalan nasional yang perlu dipelihara.
Masjid ini memang istimewa seni arsitektur dan dekorasinya. Di samping keistimewaan tersebut, dari sisi sejarahnya Masjid Su'ada merupakan saksi bisu sejarah perjuangan rakyat Kandangan Hulu Sungai Selatan melawan Belanda.
Masjid Su'ada hampir semua berbahan kayu ulin. Siapa yang tak kenal kayu satu ini. Ya, kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) atau biasa disebut dengan kayu besi merupakan pohon endemik khas Pulau Kalimantan. Kayu ulin termasuk dalam salah satu jenis pohon yang berukuran sangat besar. Pohon kayu ulin memiliki tinggi hingga mencapai 50 meter dan mempunyai diameter batang mencapai hingga 120 sentimeter.
Keistimewaannya, kayu-kayu ulin yang dipakai sebagai bahan utama masjid tersebut tidak ada satupun yang dipaku. Mereka membangunnya hanya dengan menggunakan teknik berasuk atau menggunakan pasak. Keistimewaan lainnya adalah Masjid Sua'da tidak berjendela. Masjid hanya dilengkapi pintu saja untuk akses keluar dan masuk.