Ancaman kestabilan keamanan negara tidak hanya didominasi oleh kekuatan militer lain, tapi bisa juga dipantik oleh kekuatan non-state actors. Kekuatan ini tidak hanya menyerang instansi militer melainkan juga mengancam seluruh aspek kehidupan berbangsa.
Dalam pengertian tradisional dalam studi Hubungan Internasional, negara adalah aktor utama memainkan peran sentral dalam mempengaruhi dinamika politik nasional dan internasional.
Namun, dengan adanya tambahan eksponen yang berupa peran aktor non-negara (non-state actors)Â seperti perusahaan multinasional, organisasi non-pemerintah (LSM), masyarakat sipil, dan individu, maka semakin menunjukkan signifikansi dan level ancaman dan gangguan.
Interaksi antara aktor-aktor non-negara (non-state actors) itu kemudian dikenal sebagai hubungan transnasional dalam sebuah trans-nasionalisme yang dapat mempengaruhi konstelasi politik global.
Aktor-aktor ini memberikan acaman dalam negeri yang bisa saja berupa dukungan global terhadap regulasi atau undang-undang yang lebih menguntungkan dan mengikuti kemauan internasional. Di mana regulasi dan undang-undang itu tidak lagi mendukung akomodasi dan kebutuhan bangsa dan negara.
Akhirnya untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah lewat TNI membentuk Komando Operasi Khusus (Koopssus). Peristiwa ini menandai naiknya tingkat kewaspadaan pemerintah terhadap terhadap aktivitas non-state actors yang melancarkan perang asimetris.
Atas dasar pertimbangan ancaman dan perlunya meningkatkan kewaspadaan tersebut, maka pada 3 Juli 2019, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia. Ini adalah payung hukum yang mendukung Koopssus untuk menghadapi aktivitas non-state actors.
Komposisi Koopssus TNI ini berasal dari matra darat, laut, dan udara. Koopssus terdiri atas pasukan elite yang dibentuk untuk tugas penanggulangan khusus dari ketiga matra yang memiliki kualifikasi melakukan berbagai jenis operasi taksis tingkat tinggi. Pasukan Koopssus beranggotakan inti satu kompi, sedangkan dengan seluruh pendukung, termasuk intelijen berjumlah 400 orang.
Apakah itu perang asimetris? Sehingga diperlukan sebuah Komando Operasi Khusus (Koopsus) TNI untuk menghadapi aktivitas non-state actors ini?
Sebelumnya TNI pernah memiliki model serupa untuk menghadapai ganguan terorisme dengan nama Koopssusgab TNI yang dibentuk oleh Moeldoko selaku Panglima TNI pada 2015. Tim ini merupakan gabungan pasukan elite dari tiga matra TNI, yakni Sat-81 milik TNI AD, Denjaka milik TNI AL, dan Satbravo-90 dari TNI AU.
Kemudian ditingkatkan menjadi Koopssus yang merupakan jenis komando operasi berkecepatan tinggi dan mempunyai nilai keberhasilan tinggi guna menyelamatkan kepentingan nasional di dalam maupun di luar wilayah NKRI.