Musik underground (bawah tanah) adalah aliran musik yang bergerak secara bebas. Musik bawah tanah tentunya menempatkan dirinnya di jalur antimainstream. Mulai dari punk, metal, dan lainnya.
Musik bawah tanah identik dengan gairah kebebasan. Lagu-lagunya tentunya lebih menekankan kepada kebebasan berekspresi. Sebuah nafsu liberal yang menyeruak di bawah tanah hingga mencuat ke permukaan.
Sama halnya dengan ekonomi bawah tanah (underground economy), ia mengalir bebas di bawah tanah untuk menghindari pajak pemerintah. Entah ini kebebasan berpenghasilan yang sengaja adanya tanpa campur tangan pemerintah (tidak bayar pajak) atau sebuah kelicikan taktis yang terus-menerus dilakukan untuk menikmati laba tanpa potongan pajak.
Yang pasti, underground economy ataupun sebutan lainnya, black economy menjadi sasaran pemerintah untuk menaikkan penghasilan pajaknya.
Mungkin, di benak para pelaku underground economy, pemerintah janganlah terlalu ikut campur mengenai kebebasan berpenghasilan. Kebebasan menikmati jerih payah, kebebasan untuk bergelimang dengan penghasilan dari keringat sendiri.
Bisa jadi para pelaku ekonomi bawah tanah berasumsi bahwa Indonesia tidak perlu memungut pajak dari warganya, lantaran melimpahnya kekayaaan Indonesia. Sebuah nalar sederhana yang pantas juga dilontarkan.
Indonesia memang kaya jika dilihat dari kekayaan sumber daya alamnya. Tentang cukup tidaknya kekayaan tersebut untuk pembangunan, mereka juga tidak wajib tahu.
Jika pemerintah mengatakan bahwa ini bukan lagi soal kerelaan warga untuk menyerahkan sebagian pendapatannya untuk negara, lebih dari itu, pajak ditetapkan sebagai bentuk kontribusi warga negara Indonesia yang baik untuk ikut membangun negeri. Klasik memang, bak kisah upeti di jamannya.
Bukan hanya Indonesia, semua negara yang berbasis pungutan pajak, tak lepas dari masalah ekonomi bawah tanah.
Underground economy yang dideskripsikan ketat ala pakar ekonom sebagai semua kegiatan ekonomi baik secara legal maupun ilegal yang terlewat dari perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB).
Sebagai bukti, pada tahun 2017 dalam sebuah pertemuan Eleventh Meeting of The Forum on Tax Administration di Oslo, Norwegia, diketahui besaran praktik underground economy di negara berkembang telah berada di atas 10% hingga 20% dari Produk Domestik Bruto (PDB).