Ada sebuah artikel yang menjelaskan bagaimana kita sebaiknya mencampurkan unsur emosi atau melibatkan emosi dalam apapun yang kita kerjakan. Atau dengan kata lain, sesuai dengan ungkapan yang mengatakan, melakukan segala sesuatunya dengan hati, sepenuh hati kita. Oke, setuju. Tapi sebenarnya, apa sih, artinya "melakukan segala sesuatu dengan sepenuh hati" itu?
Mitos Pria dan Wanita
Menurut mitos, pria dikatakan memiliki stereotype yang melakukan segala sesuatu berdasarkan logika. Sedangkan wanita, selalu dianggap melakukan segala sesuatu dengan perasaan.
Namun sebenarnya hal ini berbeda bagi setiap orang. Karena, ada saja pria yang cukup banyak memakai perasaan saat melakukan sesuatu. Tapi, ada juga yang hanya sedikit melibatkan perasaannya. Â Begitu juga dengan wanita. Banyak, kok, wanita yang sangat kuat mengandalkan logika dan tidak terlalu mengikuti perasaan hatinya.
Selain itu, perbedaan ini juga berlaku untuk setiap profesi. Ada profesi tertentu yang harus menggunakan komponen perasaan yang lebih banyak seperti pemusik, pelukis, penulis cerita. Namun ada juga profesi yang harus menggunakan logika dan fakta dengan kuat, dokter bedah misalnya. Sehingga tentu saja, mitos pria hanya mengandalkan logika dan wanita hanya mengandalkan perasaan, tidak sepenuhnya benar, karena banyak sisi kompleks yang harus digali dan dianalisis.
Logika atau Perasaan?Â
Pada intinya, dalam mengerjakan sesuatu, kita tentu ingin berhasil dengan baik, atau yang kita lakukan akan berguna bagi diri dan bagi sesama. Belum lagi bila diukur baik dan berhasilnya dari sisi pandang Pencipta kita.
Jika kita ingin berhasil mengerjakan sesuatu, apakah bisa hanya dibekali dengan logika? Atau justru hanya dengan hati? Bukankah akan lebih baik jika imbang antara keduanya?
Mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati pasti akan mendapatkan hasil yang optimal. Mengapa? Kita adalah manusia yang dibekali dengan perasaan, dan perasaan yang kita mliki ini yang menjadikan kita mahluk tertinggi ciptaan Tuhan. Dengan perasaan, kita memiliki kepekaan untuk dapat berempati, kepekaan untuk dapat melihat lebih dari sekadar pemaparan fakta dan logika.
Dengan begitu, tentu jelas jika kita melakukan semuanya dengan hati, maka kita akan lebih maju satu langkah. Karena kita melakukan sesuatu tidak hanya berdasarkan fakta dan logika, tapi masuk ke lapisan yang lebih dalam, yaitu melihat dengan kaca mata hati nurani kita.
Tapi memang, hal ini tidak mudah, dan tak semua orang terbiasa melakukannya. Akan banyak sekali faktor yang terlibat atau mempengaruhi. Dari tipe kepribadian yang berbeda, pengalaman hidup, situasi lingkungan yang bisa membuat tiap orang memberikan respons yang berbeda. Â Ada yang memiliki kepekaan lebih tinggi, tapi ada juga yang sama sekali tidak peka, dan tidak dapat mencerna apa yang terjadi di sekililingnya.