Fie, Hujan kembali datang….,
Dan seperti tahun-tahun yang lalu dia membawa bayangmu kembali dalam ingatanku. Entah sudah berapa tahun kau tak lagi disini menemaniku, sekedar menghayati tiap butir air yang turun dari langit.
Fie, masihkah ada dalam ingatanmu saat sore kita terjebak hujan dalam perjalanan pulang dari Madiun. Saat itu kita berteduh diemper sebuah Toko, hanya kita berdua. Udara sore itu semakin dingin dan membuatmu mengigil, wajahmu putih memucat. Kegelapan yang mulai turun menyelimuti suasana sore itu tak jua dapat sembunyikan pucat di wajahmu. Kamu bilang tidak apa-apa saat kutanya kenapa. Tetapi tahukah kamu cemas dihatiku makin meraja saat kurasakan tanganmu semakin dingin.
Fie, aku tahu kamu pasti kondisi tubuhmu sedang kurang bagus saat itu, sebelum berangkat kudengar ibumu berpesan agar kamu jaga kondisi. Kamu hanya menenangkan hatiku kan?. Hampir satu jam hujan tak jua reda dan kamu memaksa untuk pulang. Dan seperti biasa, meski dengan berat hati aku selalu menuruti keinginanmu. Kamu selalu menang Fie, dan aku selalu tak mampu untuk bilang tidak padamu.
Sehari kemudian kamu benar-benar jatuh sakit, bahkan sampai harus dirawat di rumah sakit. Setelah sampai dirumah kamu demam, bahkan beberapa kali kamu pingsan karena demam yang tinggi, kata ibumu. Selama empat hari kamu terbaring dirumah sakit selama itu pula aku tak dapat tidur nyenyak. Perasaan bersalah dan menyesal mengharuskanku sering-sering menemani ibumu yang seorang diri menungguimu.
Fie, kamu pasti tahu betapa sayangnya ibumu padamu. Selama empat hari itu, Ibumu tak sekalipun pernah pulang kerumah. Dengan kesabaran dia merawat dan menunggui kamu tanpa pernah beranjak dari kamar, bahkan untuk makan sekalipun dia lebih suka menunggu penjaja makan yang selalu menawarkan dagangannya ke kamar-kamar pasien. Seminggu kemudian kamupun sudah masuk kuliah lagi. Dan seperti biasa kamu kembali tenggelam kedalam semua kesibukanmu di kampus.
Kadang- kadang aku tak mengerti Fie, darimana sumber kekuatanmu yang sedemikian besar. Badanmu yang kecil dan terbilang bilang kurus, tampak begitu ringkih. Sorot matamu bukanlah gambaran sorot mata seseorang yang dinamis dan penuh daya. Bahkan sorot matamu yang lembut itu kadang sarat dengan bias kelelahan. Namun harus kuakui, kamu dengan semua kesibukanmu itu melebihi para perempuan lain yang pernah kukenal di kampus kita.
Fie, sudah setengah jam dan hujan belum juga reda…..
Aku masih disini, di kantin tempat pertama kali kita bertemu. Apakah kamu masih ingat hari sabtu siang yang panas itu. Bahkan aku hampir-hampir mengutuk matahari yang sedemikian garang menyinari bumi. Hari dimana kamu datang menghadap kami, dewan redaksi majalah kampus dengan membawa surat rekomendasi dari Ketua BEM Fakultas KIP. Satu persyaratan yang kami buat bagi pelamar posisi reporter majalah kampus kita.
Sudah 5 nama kandidat reporter yang aku coret dari daftar kami, mereka tidak masuk dalam kriteria reporter yang kami cari. Dan kamu, kamu tampak sangat tidak meyakinkan untuk jadi seorang reporter. Seorang gadis belia yang kurus dan tampak tak berdaya bagaimana akan menjadi reporter andal yang kami butuhkan. Dalam pandangan pertama sebenarnya nama kamu sudah hampir aku coret. Namun dalam waktu 5 menit semua berubah. Kamu mampu melawan terror kejiwaan yang kami lancarkan, dan membuat kami percaya jika sosok seperti dirimulah yang kami butuhkan.
Akupun kemudian setuju ,meski ada sedikit ragu dan bersama dengan anggota dewan redaksi yang lain ikut membubuhkan tanda tangan persetujuan penerimaan dirimu sebagai reporter majalah kampus kita. Dan sejak saat itu kamu kerap kali menjadi partner-ku dalam melakukan liputan dan wawancara.
Setahun kemudian setelah kamu resmi jadi Reporter…..
Aku masih ingat banget saat itu usai kita melakukan wawancara dengan salah satu anggota dewan. Aku sengaja mengajakmu untuk mampir ke sebuah Café. Di situlah aku menyatakan cinta padamu. Kamu mungkin nggak tahu Fie. Untuk sekedar mengatakan “Aku suka padamu” aku memerlukan semua keberanian dan merasa teramat jengah. Untung saja saat itu kita hanya diterangi nyala sebuah lilin yang redup (kebetulan saat itu mati lampu kan?). Kamu terdiam lama sekali, jenggotku samapi tumbuh 5 mm menunggu jawaban darimu. Beruntung kamu menerima ungkapan perasaanku. Andai saja saat itu engkau menolaknya, mungkin sebulan aku tak akan berani menyapamu karena malu.
Mulai saat itu kita bukan lagi sekedar rekan kerja bagiku….
Kamu adalah sumber inspirasiku dan penyemangatku saat aku merasa jatuh. Kamu selalu mampu membangkitkan semangatku saat aku merasa lemah Fie, dan menjadi penghiburku disaat aku merasa sedih.
Hari demi hari berganti dan tahunpun berlalu. Kita semakin dekat Fie, bahkan semua anggota keluargaku sudah menganggap kamu sebagai bagian dari mereka. Dan adikku satu-satunya bahkan tak segan-segan memanggilmu “calon kakak ipar”. Dan kamu dengan gayamu yang sedikit centil akan ganti memanggilnya “ calon adik ipar”. Pun begitu juga Ibu kamu yang menganggapku dan memperlakukanku bagai anaknya sendiri.
Semuanya masih tergambar jelas di ingatanku…..
Siang itu udara terasa panas menyengat, matahari yang bersinar dengan garang membakar kulit. Aku baru saja keluar dari ruang ujian Skripsi. Dan seperti janji kita, aku berjalan kekantin untuk menunggu kedatangan kamu. Hari itu aku sudah membulatkan tekat untuk melamar kamu. Bahkan aku sudah membeli sebuah cincin emas 24 karat untuk kamu meski aku harus merelakan hampir separuh uang tabunganku.
Waktu berjalan sedemikian lambat bagiku, tidak biasanya kamu terlambat. 30 menit sudah berlalu dan aku semakin gelisah menunggu kedatangan kamu. Cangkir Kopi yang ada didepanku sudah benar-benar kosong dan entah berapa batang ”lucky Strike” yang sudah terbakar dan memasuki paru-paruku. Kebiasaan burukku yang selalu kamu kritik dan tentang habis-habisan itu.
Kamu tak jua datang menemuiku di sini, tempat yang telah kita sepakati bersama. Akhirnya aku memutuskan untuk datang kerumah kamu setelah beberapa kali panggilan ke nomor HP-mu tidak mendapatkan jawaban.
Jam 14.30
Rumah kamu Kosong, benar-benar kosong. Ibu kamu yang biasanya jam segini sedang merawat koleksi anggreknya di samping rumah tidak kutemui. Setelah bosan mengetuk pintu rumah dan beberapa kali panggilan kenomor ibumu tak terjawab, aku berniat untuk pulang. Namun langkahku urung saat bunyi HP-ku berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk. Dari nomer HP Ibumu “Rumah Sakit Aisyiah dr. Soetomo, Fie sakit” .
Lalu dengan tergesa aku menyalakan motorku dan meluncur menuju rumah sakit. Jelas saja aku sangat cemas dan kawatir akan kondisimu.
Kamu tersenyum menyambutku saat pintu kamar kelas 2B ruang Arrafah terbuka. Senyum lemah yang dengan susah payah kau ukir di bibirmu yang terlihat pucat. Dengan segera aku menghampirmu dengan cemas. Sampai-sampai aku lupa mengucapkan salam dan menyapa ibumu jika saja kamu tidak menegurku dengan isyarat matamu.
Katamu itu hanya sakit biasa karena kecapekkan. Lalu dengan persetujuan Ibumu kamupun bersedia menerima lamaranku. Tanpa keraguan, aku memasangkan Cincin di jari manismu. Wajahmu sedikit merona saat itu, aku tahu hatimu juga berbunga-bunga sepertiku.
Seminggu kemudian kamupun sudah kembali pulang kerumah.
Tetapi ada yang berubah pada dirimu Fie, ada sesuatu yang kau coba sembunyikan dariku. Kamu mulai jarang tersenyum, bahkan saat aku melucu dihadapanmu. Kurasakan dirimu menjauh Fie, seringkali kamu melarangku menjemputmu untuk berangkat bareng ke kampus. Lalu kamu mulai sering melarangku main kerumahmu dengan berbagai macam alasan. Dan puncaknya tiga bulan kemudian Ibu kamu mengembalikan Cincin yang telah kupasangkan kejari manismu, kamu mengembalikan lamaranku.
Berbagai alasan kamu kemukakan waktu aku menghubungimu lewat HP setelah berbagai cara kutempuh untuk menemui kamu tidak berhasil. Alasan-alasan yang terasa kamu buat-buat untuk membatalkan lamaranku. Tentu saja aku tidak dengan mudah menerima alasan-alasan kamu itu. Hanya penjelasan dari Ibu kamu yang kemudian membuatku menyerah dan pasrah pada keputusan kamu.
Hampir sebulan lebih aku seperti orang kehilangan arah. Hutan dan gunung menjadi pelarianku, seringkali Lawu menjadi saksi kesedihanku. Sengaja memang aku menghindari keramaian untuk sekedar merenungkan kembali tentang apa yang kualami. Fie, kamu tahu nggak cerpenku ”Edelweis merah jambu” yang dimuat di Majalah kampus kita itu sengaja ku buat untuk untuk mengungkapkan kesedihanku karena dirimu.
Akhirnya semua menjadi jelas bagiku Fie…..
Rahasia yang kamu sembunyikan rapat-rapat akhirnya bocor juga. Saat itu kamu terbaring tak sadarkan diri diatas dipan Putih, dalam kamar yang sama saat beberapa waktu lalu kamu masuk rumah sakit ini. Dengan linangan airmata Ibu kamu menceritakan semuanya padaku. Maafkan ibumu Fie, Mungkin terlalu berat baginya untuk menyimpan derita dan kesedihannya sendiri. Sakitmu bukan sakit biasa Fie, Sel-sel darah putih yang menjadi liar itu ternyata telah menggerogoti tubuh kamu sekian lama. Hal itu baru terungkap saat kamu masuk rumah sakit beberapa bulan lalu. Dokter telah memvonis hidupmu tak akan lebih dari dua belas bulan lagi. Fie, siapa yang tidak patah dan putus asa jika tahu hidupnya sebentar lagi akan berakhir. Lebih patah lagi kami Fie, orang-orang yang mencintai dan megasihimu sepenuh hati. Aku tak bisa membayangkan betapa sedihnya ibu kamu jika kehilangan kamu Fie, anak perempuan semata wayangnya.
Seminggu kemudian kamu sudah pulang lagi kerumah Fie. Dan dengan segala bujukan dan desakan ibumu akhirnya kamupun mau kembali bersamaku.
Aku tak bisa menceritakan persaanku saat itu. Hanya batas tipis yang memisahkan perasaan bahagia dan sedih dihatiku. Berada disampingmu adalah kebahagiaan terbesar yang Tuhan berikan kepadaku. Namun kenyataan bahwa sewaktu-waktu aku akan kehilanganmu membuatku benar-benar sedih. Hanya kata-katamu yang selalu membuatku tegar. “Jalani saja semuanya, Allah selalu punya rencana Indah untuk kita” itu katamu Fie. Kata-kata yang selalu ku ulang saat aku mulai ragu menatap masa depan yang kan kita jalani.
Dari hati yang paling dalam aku selalu salut padamu Fie. Mungkin sangat jarang ada orang yang lebih tegar dan lebih tabah darimu dalam menghadapi masalah seperti itu. Tak juga aku atau Ibumu yang sering kudapati melamun seorang diri di antara koleksi anggreknya itu.
Lalu saat itu benar-benar tiba….
Maut akhirnya menjemputmu tanpa permisi di saat ceria kembali melingkupi kita. Bahkan aku benar-benar tak menduganya Fie. Enam belas bulan telah berlalu, lewat empat bulan dari vonis Dokter. Kamu sudah terlihat segar Fie, tidak lagi pucat dan lemah seperti saat baru keluar dari rumah sakit. Aku bahkan telah memupuk harapan akan kesembuhanmu. Namun takdir tak pernah berfihak pada kita Fie.
Senja begitu cerah, langit begitu biru tanpa awan sedikitpun. Angin bertiup pelan dan air telaga ngebel tak beriak saat kita langkahkan kaki menyusuri tepiannya. Tiba-tiba saja kamu mengeluh pusing kepala dan akupun segera membawamu pulang kerumah. Kamu pingsan tepat di depan pintu rumahmu. Dengan tergesa Aku dan Ibumu melarikanmu ke rumah sakit dengan pinjaman mobil dari tetanggamu.
Sejak itu kamu tak pernah sadar Fie, bahkan sampai sampai Ajal memeluk dan membawamu meninggalkan kami. Tuhan begitu menyanyangi kamu hingga memanggilmu lebih dahulu dari kami semua.
Tak ada tangis untukmu Fie…..
Kami lupa bagaimana caranya menangis. Begitu dalamnya kesedihan yang kami rasakan membuat kami tak bisa menangis. Hanya do’a dalam diam yang kami panjatkan mengiringi kepergianmu. Semoga kamu akan dapatkan kedamaian dan kebahagiaan disisinya Fie.
Hujan telah reda, tanpa sadar aku sudah duduk dikantin ini lebih dari satu jam. Kopi digelasku sudah kosong dari tadi. Asbak didepanku juga kosong, Tak ada puntung rokok satupun didalamnya. Kamu harus tahu Fie, Sekarang aku tak lagi merokok. Aku meninggalkan kebiasaan buruk itu beberapa minggu setelah kepergianmu. Dan satu lagi Fie, aku hampir menyelesaikan studi magister of Sosiologi di kampus kita ini.
Aku hampir saja lupa. Sore ini aku berjanji pada ibumu untuk bersama mengunjungi makammu Fie. Memperingati 2 tahun kepergianmu. Kulihat sekelilingku sudah sepi, hanya ibu-ibu pelayan kantin memberesi gelas dan piring yang tercecer diatas meja.
Setelah membayar kopi yang kuminum aku beranjak keluar. Udara menyambutku, sisa-sisa butiran hujan menerpa wajahku.
Fie, aku rindu kamu….
Ponorogo, 2006
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H