Permasalahan korupsi nyatanya sudah menjadi hal yang lumrah juga menakutkan di negeri ini. Banyaknya kasus korupsi yang terjadi dalam pemerintah telah memberikan citra buruk politik di masyarakat dan sebagian besar korupsi dilakukan oleh pejabat public yang notabene merupakan politisi dari partai politik. Inilah yang menjadi kekhawatiran bersama. Tatkala partai politik dan korupsi selalu berteman baik. Berbagai  macam aturan yang telah diberlakukan untuk dapat mencegah terjadinya korupsi di Negara ini, namun para pelaku seakan tidak mengindahkan aturan yang telah ditetapkan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah merilis hasil monitoring kasus korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat RI periode 2014--2019. Sebanyak 22 anggota Dewan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan korupsi yang berbeda-beda. Di tingkat eksekutif daerah pada periode yang sama tercatat 105 kasus korupsi dengan 90 di antaranya melibatkan bupati dan walikota, sedangkan 15 sisanya melibatkan gubernur (katadata.com). Menurut data KP, yang dirilis pada 16 Agustus 2018 lalu, sepanjang 2004-Agustus 2018 terdapat 867 pejabat negara/pegawai swasta yang melakukan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 311 orang di antaranya berprofesi sebagai anggota DPR dan DPRD, gubernur, dan bupati atau walikota yang notabene hampir keseluruhan berlatar belakang dari partai politik (Detik.com).
Hal ini mencerminkan bahwa betapa bobroknya para pejabat public yang menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan. Para politisi dari partai politik yang terlibat dalam pusaran korupsi salah satu bukti nyata betapa lemahnya pelaksanaan sistem partai politik tersebut. Mengapa ketika para pejabat public yang melakukan korupsi selalu dikaitkan dengan partai politik? Â Dan kenapa pula partai politik disebut sebagai embahnya korupsi? Parpol memiliki dua kewenangan utama yang paling mendasar, yakni pertama membuat undang-undang dan kedua parpol memiliki hak untuk menentukan pejabat public. Apalagi ketika legislator terbiasa dengan korupsi maka proses legislasi yang dihasilkan kemungkinan pasti korupsi. Beban dari parpol untuk kader dalam sumbangan dana untuk parpol menjadi salah satu factor masalah bagi para kader parpol. Kecenderungan kader mencari dana lewat berbagai cara untuk dapat memenuhi target sumbangan dana yang dibagi untuk kegiatan internal parpol, salah satunya korupsi.
Dari realita yang ada, pelaku-pelaku yang terjerat dalam tindak pidana korupsi sebagian besar bahkan dapat dikatakan korupsi selalu saja dilakukan oleh para kader parpol yang berada dalam pemerintahan. Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan, ketika parpol menjadi organisasi yang melahirkan kader yang korup bukannya mengahsilkan kader professional dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat. Korupsi yang dilakukan para kader parpol ini akan berdampak pada pandangan masyarakat terhadap politik. Citra buruk yang ditimbulkan dari kader parpol yang melakukan tidakan korupsi akan berdampak pada parpol tersebut.
Sudah saatnya partai politik mulai berbenah sistem internal parpol, menjalankan peran, fungsi dan tugas partai politik, kembali pada hakikat partai politik dan menjalankan ideology partai politik. Yang paling penting dalam sistem perekrutan kader partai sebaiknya partai lebih serius lagi dalam menyeleksi para kader parpol sehingga, parpol dapat menghasilkan para kader parpol yang professional dan tidak korup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H