“Pimpin dari belakang dan biarkan orang lain percaya mereka ada di depan (Nelson Mandela)”.
Debat pilkada menjadi topik hangat belakangan ini. Mencermati kemenangan tak terduga Donald Trump di Pilpres Amerika Serikat seakan menjadi pedoman sebuah keyakinan bahwa etika berkampanye politik yang “santun” menjadi lumrah untuk diendapkan terlebih dahulu, disingkirkan, hingga kemenangan tergapai apapun caranya.
Berkampanye politik sama halnya seperti membangun hubungan dengan konstituen pendukung sebagai publik (warga) yang ditarget suara untuk memilih sehingga dibutuhkan strategi public relations yang baik, bagaimana membangun komunikasi yang efektif dan dapat mempengaruhi para pemilih tersebut.
Dalam hal karakateristik public relation yang bersifat satu arah, ada yang memiliki sifat komunikasi publiknya bahwa kebenaran tidaklah penting amat, yang penting tujuan utama tercapai dan publisitas meningkat tajam , yang sering disebut strategi “propaganda”. Hal inilah yang dilakukan oleh Trump sehingga menggapai kemenangan di karakter konstituen yang katanya bapak demokrasi namun nyata-nyata masyarakatnya termakan propaganda topik agama, ras, dan etnik dirinya ketimbang menonjolkan program-program pembangunannya, dan meskipun sebetulnya ia juga diuntungkan oleh faktor x lainnya yakni besarnya golput.
Sebaliknya dalam hal menjunjung tinggi etika berkampanye politik dan berdemokrasi , public relation yang bersifat satu arah bertujuan untuk memberikan informasi publik yang relevan dan lebih pentingnya kebenaran serta realita sebuah program yang ditawarkan kepada masyarakat dibanding propaganda semata.
Kemenangan "politik kedengkian" yang didengungkan oleh Trump yang bersifat memprovokasi di setiap kampanyenya namun membalikkan keadaan seakan sisi provokasi bukanlah dirinya namun berada dilawan "debat"nya, itulah teknik komunikasi propaganda. Apakah “politik kejujuran” terkalahkan oleh “politik kedengkian” di demokrasi tanah air kita tercinta yang sudah semakin “dewasa”, menarik untuk kita ikuti dan simak bersama.
Model komunikasi public relation yang bersifat dua arah di politik propaganda lebih bersifat persuasi terhadap perilaku ,meski dua arah namun tidaklah seimbang karena lebih mengenai persuasi topik tertentu seperti halnya agama termasuk ras dan etnis. Persuasi politik yang bahkan secara nyata-nyata telah dilakukan di rumah-rumah ibadah guna mempengaruhi perilaku konstituen . Jika hal ini dibiarkan saja seperti hal yang lumrah, bukan saja menyangkut etika berpolitik, namun lama kelamaanpun bisa menggerus fondasi kebangsaan dan kebhinekaan kita yang sudah kuat, namun meski merasa kuat tetaplah harus was was terhadap umpan balik dari perilaku yang terpersuasi, karena masyarakatlah sebagai inti atau ujung tombak perekat.
Masih kita ingat model komunikasi publik dua arah saat Jokowi berhasil memenangi Pilpres yang patut dicontoh sebagai sebuah etika dan semangat nyata berdemokrasi , karena bersifat pemahaman dua arah ketimbang persuasi perilaku konstituennya , lebih seimbang disebabkan oleh komunikasi yang lebih karena kesamaan sifat pandang ideologi berbangsa bernegara bersama kelompok anak-anak muda generasi masa depan. Lebih mengajak dalam hal pemahaman dua arah untuk otonom di garis depan aktivitas kampanye kreatifnya masing-masing komunitas, ketimbang menstir perilaku mereka semua untuk maksud tertentu.
Etika berpolitik leluhur Jawa yang “hamengku, hamangku dan hamengkoni” dimana para pemimpin atau calon pemimpin haruslah melindungi, mengayomi dan "tidak lupa" memberi teladan kepada masyarakat pemilih. Serta “gurung bengawan weteng segara”, dimana para pemimpin atau calon pemimpin haruslah memiliki jiwa besar dan kesabaran bersedia mendengar semua aspirasi termasuk kritik membangun.
R. Arvin I.Miracelova
(founder www.worldpancasilainstitute.com)