Menginang atau menyirih telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Nusantara. Sementara, istilah menginang atau menyirih sendiri ialah aktivitas mengunyah racikan daun sirih, pinang, kapur, dan dalam perjalanannya dicampur gambir dan tembakau. Kebiasaan menginang sendiri sudah berlangsung sejak lama. Dalam catatannya, Anthony Reid (1985) mengungkapkan bahwa dari catatan para musafir Cina, sirih dan pinang sudah dikonsumsi sejak dua abad sebelum Masehi dari bagian bersirih pinang atau betel-chewing. Sementara, pada 1521, menurut kesaksian Antonio Pigafetta, Masyarakat Nusantara mengunyah pirih dan pinang secara terus menerus.
Pada kesempatan lain, Denny Lombard (2007) mencatat bahwa pada medio 1620-1621, melalui kesaksian Augustin de Beaulieu saat mengunjungi Kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda menyuguhkan bejana besar dari emas yang penuh dengan sirih. Menyuguhkan sirih dan pinang menjadi bentuk penghormatan kepada tamu. Di Kalangan bangsawan, sirih pinang kerap disuguhkan ketika raja menjamu tamu-tamu asing.
Sajian sirih, pinang, dan tembakau sendiri telah menjadi pelengkap dalam hampir setiap upacara adat di Nusantara, seperti pernikahan, kelahiran, kematian, penyembuhan, dan lain sebagainya. Dalam tradisi Melayu, sirih, pinang, dan tembakau menjadi sarana petatah-petitih. Tidak hanya itu, di masyarakat Papua dan Nusa Tenggara misalnya, sirih, pinang, dan tembakau sudah menjadi “barang wajib”. Menginang tidak mengenal usia dan gender. Menginang menjadi media sosial dan perekat hubungan.
Menurut sumber di melayuonline, selain sebagai sarana sosial, sirih, pinang, dan tembakau ternyata dilekatkan makna-makna tertentu: sirih menyimbolkan sifat rendah hati dan memuliakan orang lain sebab pohonnya memerlukan sandaran untuk hidup tanpa merusak; pohon pinangdianggap melambangkan keturunan yang baik, dilihat dari pohonnya yang menjulang ke atas, ada harapan mendapatkan keturunan yang tinggi derajatnya dan lurus budi pekertinya. Kapurmelambngkan niat hati yang bersih. Rasa gambir dan tembakau yang pahit menyimbolkkan hati yang tabah serta rela berkorban demi orang lain.
Nah, kalau melihat alur sejarah secara linier, menginang menjadi cikal bakal tradisi kretek di Indonesia. Terutama setelah tradisi menginang menggunakan tembakau dan gambir. Dari situ, unsur dan bahan-bahan dasar menginang hampir sama dengan komposisi kretek. Tembakau untuk campuran sirih pinang dikenal dengan nama “tembakau sugi” atau orang Jawa menyebutnyambako susur. Susur atau nyusur, nginang sendiri merupakan istilah menginang dalam bahasa Jawa untuk.
Tembakau kunyah atau sugi dapat dikelompokkan dalam jenis tembakau non hisap. Untuk mengonsumsinya biasanya dibentuk helaian panjang atau dirobek kasar. Cara mengonsumsinya pun hanya ditempelkan di bagian pipi atau gusi sembari dikunyah. Terdapat beberapa jenis tembakau sugi, antara lain tembakau daun longgar, tembakau sumbat, tembakau gulungan, dan tembakau gigit.
Selain berfungsi dalam artian sosial dan budaya, bagi masyarakat menginang, juga diyakini memiliki manfaat untuk pencernaan dan menguatkan gigi. Dalam catatan Kompas.commewartakan kisah menginang di masyarakat Nusa Tenggara. Salah satu narasumbernya, Benyamin Bana, Kepala Desa di Desa Suni, Noebana, Nusa Tenggara Timur yang hobi menginang. Dalam salah satu tukilan wawancara, Benyamin menunjukkan giginya sambil berujar, “Buktinya gigi saya masih utuh dan kuat untuk makan apa saja. Belum ada yang tanggal”. []
cek: http://komunitaskretek.or.id/?p=2947
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H