Mohon tunggu...
Komunitas Kretek
Komunitas Kretek Mohon Tunggu... lainnya -

Komunitas Kretek lahir atas kesadaran bahwa kretek adalah salah satu produk budaya bangsa Indonesia yang unggulan. Adalah cita-cita kami bersama untuk membela para penghayat budaya kretek, termasuk di dalamnya pelaku industri kretek dari hulu ke hilir, konsumen kretek, pemerhati kretek, kalangan akademisi, dan pecinta budaya kretek lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menginang: Cikal Bakal Tradisi Kretek Nusantara

2 April 2014   07:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:11 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menginang atau menyirih telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Nusantara. Sementara, istilah menginang atau menyirih sendiri ialah aktivitas mengunyah racikan daun sirih, pinang, kapur, dan dalam perjalanannya dicampur gambir dan tembakau. Kebiasaan menginang sendiri sudah berlangsung sejak lama. Dalam catatannya, Anthony Reid (1985) mengungkapkan bahwa dari catatan para musafir Cina, sirih dan pinang sudah dikonsumsi sejak dua abad sebelum Masehi dari bagian bersirih pinang atau betel-chewing. Sementara, pada 1521, menurut kesaksian Antonio Pigafetta, Masyarakat Nusantara mengunyah pirih dan pinang secara terus menerus.

Pada kesempatan lain, Denny Lombard (2007) mencatat bahwa pada medio 1620-1621, melalui kesaksian Augustin de Beaulieu saat mengunjungi Kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda menyuguhkan bejana besar dari emas yang penuh dengan sirih. Menyuguhkan sirih dan pinang menjadi bentuk penghormatan kepada tamu. Di Kalangan bangsawan, sirih pinang kerap disuguhkan ketika raja menjamu tamu-tamu asing.

Sajian sirih, pinang, dan tembakau sendiri telah menjadi pelengkap dalam hampir setiap upacara adat di Nusantara, seperti pernikahan, kelahiran, kematian, penyembuhan, dan lain sebagainya. Dalam tradisi Melayu, sirih, pinang, dan tembakau menjadi sarana petatah-petitih. Tidak hanya itu, di masyarakat Papua dan Nusa Tenggara misalnya, sirih, pinang, dan tembakau sudah menjadi “barang wajib”. Menginang tidak mengenal usia dan gender. Menginang menjadi media sosial dan perekat hubungan.

Menurut sumber di melayuonline, selain sebagai sarana sosial, sirih, pinang, dan tembakau ternyata dilekatkan makna-makna tertentu: sirih menyimbolkan sifat rendah hati dan memuliakan orang lain sebab pohonnya memerlukan sandaran untuk hidup tanpa merusak; pohon pinangdianggap melambangkan keturunan yang baik, dilihat dari pohonnya yang menjulang ke atas, ada harapan mendapatkan keturunan yang tinggi derajatnya dan lurus budi pekertinya. Kapurmelambngkan niat hati yang bersih. Rasa gambir dan tembakau yang pahit menyimbolkkan hati yang tabah serta rela berkorban demi orang lain.

Nah, kalau melihat alur sejarah secara linier, menginang menjadi cikal bakal tradisi kretek di Indonesia. Terutama setelah tradisi menginang menggunakan tembakau dan gambir. Dari situ, unsur dan bahan-bahan dasar menginang hampir sama dengan komposisi kretek. Tembakau untuk campuran sirih pinang dikenal dengan nama “tembakau sugi” atau  orang Jawa menyebutnyambako susur. Susur atau nyusur, nginang sendiri merupakan istilah menginang dalam bahasa Jawa untuk.

Tembakau kunyah atau sugi dapat dikelompokkan dalam jenis tembakau non hisap. Untuk mengonsumsinya biasanya dibentuk helaian panjang atau dirobek kasar. Cara mengonsumsinya pun hanya ditempelkan di bagian pipi atau gusi sembari dikunyah. Terdapat beberapa jenis tembakau sugi, antara lain tembakau daun longgar, tembakau sumbat, tembakau gulungan, dan tembakau gigit.

Selain berfungsi dalam artian sosial dan budaya, bagi masyarakat menginang, juga diyakini memiliki manfaat untuk pencernaan dan menguatkan gigi. Dalam catatan Kompas.commewartakan kisah menginang di masyarakat Nusa Tenggara. Salah satu narasumbernya, Benyamin Bana, Kepala Desa di Desa Suni, Noebana, Nusa Tenggara Timur yang hobi menginang. Dalam salah satu tukilan wawancara, Benyamin menunjukkan giginya sambil berujar, “Buktinya gigi saya masih utuh dan kuat untuk makan apa saja. Belum ada yang tanggal”. []

cek: http://komunitaskretek.or.id/?p=2947

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun