Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Meskipun presentasenya kecil, namun jika sudah dihitung jumlah individunya itu banyak. Maka dari itu gangguan kesehatan mental merupakan suatu hal yang juga harus di perhatikan.
Salah satu gangguan kesehatan mental yang berhubungan dengan data diatas yakni fobia sosial atau sering disebut juga social anxiety disorder. Bersumber dari vol 2 no 11 (2013):e-jurnal medika udayana "Social Phobia is a condition characterized by a marked and persistent fear of social or performance situations in which embarrassment may occur."
Rasa malu yang tercipta bukan hanya sekadar rasa malu biasa, tetapi hal ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bahkan sampai ke hal sederhana sekalipun. Untuk mengetahui lebih lanjut, penulis pun akhirnya mewawancarai salah satu orang yang mengalami fobia sosial yang namanya tidak ingin disebutkan.
Menurut AD (20 tahun), ada beberapa hal menganggu yang dirasakan oleh seorang fobia sosial atau anxiety disorder diantaranya yakni:
1. Selalu merasa sedang diamati/dinilai/diperhatikan orang lain
2. Selalu merasa sedang dibicarakan oleh orang lain
3. Selalu takut menjadi pusat perhatian
4. Sulit membangun hubungan akrab dengan orang lain dan tidak percaya diri
Dan masih banyak lagi yang sulit diungkapkan oleh AD.
Namun ada yang menarik dari kehidupan seorang fobia sosial, yakni tentang kehidupan percintaannya. Menurut AD yang telah mengalami fobia sosial selama tujuh tahun, untuk memiliki pasangan adalah suatu hal yang sulit karena dirinya selalu merasa tidak percaya diri dan merasa tidak layak untuk dicintai. Sehingga hal tersebut menghambatnya untuk membuka hati bagi lawan jenis yang ingin berkenalan dengannya. Tidak hanya itu, untuk membangun hubungan baik pun AD sebagai penderita fobia sosial juga mengalami kesulitan, bukan hanya tentang dunia percintaan tetapi juga pada hal lainnya. Prasangka buruk bahwa orang lain selalu mengomentari diri AD, itu sangat diyakini oleh AD. Hal ini juga yang membuat AD sebagai penderita fobia sosial menjadi pribadi yang cukup tertutup.
Tidak hanya love life, AD juga mengalami krisis kepercayaan diri. AD selalu merasa tidak percaya diri untuk melakukan berbagai hal, bahkan hal-hal sederhana sekalipun. Misalnya: pergi ke warung di dekat rumah, bertemu dengan teman dari temannya, bertemu saudara yang jarang berjumpa, dan lain-lain. Krisis kepercayaan diri ini juga membuat AD tidak bisa mengembangkan minat serta bakatnya secara maksimal.
"Aku sebenernya tertarik banget dengan hal-hal yang berbau broadcasting seperti fotografi, bikin film, dan lainnya. Tetapi aku gak berani buat join komunitas atau sok asik sama orang yang atau teman yang passion juga di bidang tersebut. Padahal aku tau orang-ornag yang sekiranya bisa aku tanyain tentang hal hal tersebut. Alhasil aku banyak belajar sendiri dan kurang maksimal karena jarang aku prkatekan." Ungkap AD mengenai perasaannya yang kurang bisa maksimal mengembangkan minat dan bakat.
"Bahkan untuk sekadar memotret keluar rumah saja rasanya sangat cemas. Aku khawatir ketika mengangkat kameraku, aku menjadi pusat perhatian. Aku takut orang-orang melihat aku." Ucap AD.
Dengan besarnya dampak dari fobia sosial terhadap kehidupan penderitanya, maka sudah seharusnya untuk memeriksakan diri ke ahli jiwa atau psikeater, seperti yang dilakukan AD.
Sejak mengalami kecemasan berlebih di bangku SMP, baru beberapa bulan terakhir AD memantapkan hatinya pergi ke psikeater dan berkonsultasi tentang apa yang dirasakannya. Pasalnya, setelah sekian lama AD menganalisis dirinya sendiri berbekal informasi tentang gangguan kesehatan mental dari internet, AD merasa perlu adanya pernyataan dari seorang ahli tentang gangguan mental apa yang dideritanya.
Sampai saat ini, AD masih mengalami fobia sosial meskipun sudah lebih membaik, namun tetap masih ada beberapa aktivitas sehari-hari yang sulit dilakukan.