Mohon tunggu...
Feb Widya
Feb Widya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasionalisme Tidak Terbangun dengan Caci Maki

6 Agustus 2018   12:28 Diperbarui: 6 Agustus 2018   12:31 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada perjalanan Indonesia merdeka nyaris 73 tahun ini, nasionalisme mengalami pasang surut. Apalagi bisa dikatakan zaman sudah berubah. Zaman dulu dimana perjuangan identic dengan mengangkat senjata melawan musuh, kini berganti dengan strategi membangun ekonomi, adu diplomasi dan melalui  teknologi.

Tantangan yang berbeda ini sedikit banyak mempengaruhi  warga dalam memahami apa makna nasionalisme itu. Apalagi jika dikaitkan dengan teknologi karena narasi sangat cepat erkembang ; terbantu oleh tenologi.

Makna nasionalisme adalah politik dari warga negara suatu bangsa yang mungkin berbeda lkebudayaan bahasa dan keyakinan, tapi merasa diikat oleh cita-cita dan tujuan yang sama. Karena kebatinan warga itu diikat secara erat, mereka merasakan kesetiaan mendalam terhadap negara itu. Rasa batiniah itu kemudian tumbuh dan mengental menjadi nasionalisme.

 Rasa ini yang tumbuh di kalangan pemuda dan dimotori oleh Bung Tomo ketika 10 November di Surabaya. Mereka mengangkat senjata sederhana melawan musuh yang punya senjata lebih dari yang mereka punya.

Bagaimana nasionalisme kekinian itu ?

Nasionalisme kekinian punya tantangan  yang cukup besar. Sepert yang sudah diterangan di atas, bahwa nasionalisme kini sangat dipengaruhi oleh teknologi, semisal internet  dan dunia maya seperti sosial media.

Nasionalisme harus bisa dibangkitkan dengan narasi-narasi yang membangun dan memperkuat sebagai satu bangsa. Ukan malah mencerai beraikan kita karena perbedaan yang kita punya. Bagi Indonesia yang punya belasan ribu puau, ribuan adat istiadan, ratusan bahsa dan beberapa keyakinan ; perbedaan adalah keniscayaan.

Sehingga dalam narasi-narasi yang dibangun di media sosial dan dunia maya, jangan kita mudah dihancurkan hanya karena tidak pernah berinterkasi angsung dengan kita, atau kita hanya tahu sedikit saja tentang mereka sehingga kita tidak merasa paham mereka dan akhirnya tidak merasa satu bangsa.

Kita perlu mengenak bangsa kita sendiri  dan segala apa yang mereka punya. Dengan begitu kita dapat bersyukur betapa kayanya bangsa kita. Kita bisa menikmati budaya dan adat yang berbeda dengan mudah dan murah. Kita perlu mensyukuri betapa ikatan batin sebagai satu bangsa itu itu terbangun.

Mari kita mensyukuri bangsa ini dengan narasi yang santun. Nasionalisme tidak akan terbangun dengan caci maki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun