Mohon tunggu...
Cecep Zafar Sofyan
Cecep Zafar Sofyan Mohon Tunggu... wiraswasta -

hidup adalah kematian yg menyamar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Partai Golkar (kembali) pecah !

9 Desember 2014   10:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:43 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepekan terakhir ini, politik nasional kembali menyedot perhatian publik, dan media massa pelan tapi pasti memaksa kita disuguhi tontonan yang menarik tentang para aktor politik memainkan drama politiknya yang begitu cetar membahana.

Sudah menjadi pengetahuan kita bersama, bahwa Partai Golkar secara historis tidak memiliki tradisi untuk menjadi penonton dan ‘tukang keprok’ dalam siklus kekuasaan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, hingga pada yang bersifat federatif. Kita tahu, Partai Golkar selalu  menempatkan posisi politiknya (secara institusi maupun personal) sebagai ‘Imam Kekuasaan’ dan ‘dirigen politik’ dalam setiap lini dan kepentingan apapun. Jaringan sel politik yang sangat kokoh dan mengakar, jumlah massa yang sangat masif dan pengalaman panjang sebagai penguasa menjadikan partai ini sangat rentan untuk pecah, berpecah dan memecah. Bagi para aktor politik, dimana cita-cita dan orientasinya bertumpu pada politik kekuasaan, hakikat politik senantiasa dimaknai sebagai klaim-klaim kebenaran atas kelompoknya, diskenariokan  untuk pecah, berpecah dan memecah, atas dasar bahwa politik itu adalah seni dalam membangun kompromi.

Terhitung tahun 1998, ketika reformasi bergulir, Partai Golkar melahirkan dua anak kembar, sebutlah misalnya Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) besutan Jenderal Hartono dan Mbak Tutut, kemudian Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang dinakhodai oleh Jenderal Edi Sudrajat. Lima tahun kemudian (2004), Partai Golkar kembali melahirkan dua anak kembar yaitu, Partai Gerindra hasil ‘kerajinan tangan’ Jenderal Prabowo, dan Partai Hanura sebagai produk ijtihad politiknya Jenderal Wiranto. Dimana Jusuf Kalla tampil pada saat itu sebagai pemenang.

Memang, keputusan politik tentu tidak ada yang bulat, selalu berbentuk lonjong dan persegi, artinya adalah, setiap keputusan politik selalu meneteskan keputusan-keputusan baru yang pro-kontra dan sarat konflik kepentingan, tentu didalamnya akan memuaskan bagi sang pemenang pertandingan, dan di sebrang sana yang kalah pasti berujung kecewa yang mendalam.

Problem yang akut hingga kini masih dipelihara oleh para aktor politik / elit partai adalah sangat gemar membuat dan menyusun barisan baru dan begitu mudah meninggalkan shaf yang lama, meskipun secara kasatmata ‘casing’ nya baru, tapi kita tahu bahwa didalamnya adalah para ‘pemain veteran’ yang sudah malang melintang di arena politik nasional. Itu artinya, bahwa kekuasaan politik, dalam konteks ini adalah partai Golkar, sungguh sudah menjadi urat nadi sejarah, bahwa kekuasaan telah membuat mabuk dan menggoda para elit partai. Lantas apakah perpecahan ditubuh Partai Beringin ini cukup berhenti disini? Ternyata tidak, lima tahun kemudian (2009), peserta Munas Partai Golkar ‘jatuh cinta’ kepada sosok Aburizal Bakrie alias Ical, yang berhasil menumbangkan pesaing utamanya, Surya Paloh. Tentu sudah diprediksi, lahirlah Ormas Nasdem yang kemudian bermetamorfosis menjadi partai Nasdem hasil ‘buah tangan’ Surya Paloh. Dan puncaknya adalah, pecah kongsi politik antara Genk Aburizal Bakrie dengan Barisan Agung Laksono. Peserta Munas di Bali memutuskan bahwa Aburizal Bakrie harus tetap menakhodai partai Golkar untuk lima tahun ke depan. Namun Agung Laksono cs pun tidak mau ‘eleh geleng’, dengan bersikeras menyenggarakan Munas di Ancol yang memberikan mandat kepadanya sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Dari ulasan diatas, saya ingin memetik beberapa poin penting, yaitu ;

Pertama, para aktor politik diam-diam disandera dan terjebak dalam kubangan lumpur tentang masalah ‘benar dan salah’, ‘kuat dan lemah’, ‘kalah dan menang’, padahal sesungguhnya setiap aktor politik diikat oleh sebuah presisi dan etika otonom yang tentu harus dijunjung setinggi-tingginya, untuk dicerminkan/direfleksikan kepada masyarakat.

Kedua, politik sebagaimana teori yang diungkapkan oleh Thomas P. Jengkin bahwa politik itu mengandung nilai moral/akhlak, filsafat, ideologi, dan fakta/fenomena secara deskriptif dan komparatif perlu ditanamkan dalam setiap perjuangan politiknya.

Dua poin tersebut membimbing kepada kita untuk mengukur sejauhmana daya kritisme atas nalar dan akal sehat kita dalam mencermati peristiwa politik dan pemerintahan hari ini.

Dengan pecah, berpecah dan memecahnya Partai Golkar yang kemudian melahirkan dua kubu yang berseteru, maka sekarang bola ada ditangan Pemerintah. Pertanyaannya kemudian, adalah, bagaimana apresiasi pemerintah terhadap dua kubu tersebut? Bagaimana posisi politik KMP di parlemen? Disinilah awalnya permainan catur yang sesungguhnya,...semoga ada jalan kompromi menuju Partai Golkar yang lebih sehat,...Kita lihat saja nanti,..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun