[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="gambar diambil dari http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/5/5f/Gedung_MPR-DPR.PNG"][/caption]
. . .
“Da, bagaimana keadaan jalan-jalan utama di pedesaan?”
“Seperti yang bapak amanatken, baik dan ruar biasa pak..”
“Bagus.. bagus...”
Sebilah pedang kata-kata melayang, menancap tepat di ulu hati anjing-anjing yang mereka (pemangku kekuasaan) sebut sebagai rakyat jelata kebanyakan. Selaksa kalimat busuk tega terlontar, menghalau sang nyata, menampar lembut sang pemimpin, dihembuskan dengan lenturnya oleh sang abdi aka menteri, demi lahirnya kalimat:
Tidak akan diresuffle...
Sang pawana singgah, lalu tanyanya, “Dimanakah dewi keadilan?”
Keadilan nyungsep jauhdi dompet sang abdi negeri, si gerombolan koalisi, dan si si si.. yang lain yang menjadiken kekuasaan sebagai ajang pencarian harta atau jamak disebut keroyokan bersama menggali kekayaan (dari hutang negeri yang terus ditambah dan ditambahi).
Burung Garuda yang mendengar selentingan kabar negeri pun datang dan melontarkan sebuah tanya, yang kemudian jadi terlalu satir dan menggalaukan semua pemangku kekuasaan negeri,
“Percuma kita dirikan koalisi bila tak mampu goyahkan negeri! Rombak Undang-undang Dasar '45!”