"Bisa memanen dari apa yang dulu pernah kita tanam, selalu ada perasaan senang dan bangga." --Kompasianer Guido Tisera.
Pengalaman dan ingatan semasa kecil bisa jadi adalah modal kesuksesan kita di kemudian hari.
Kompasianer Guido Tisera (Guido Arisso), misalnya. Kariernya sebagai petani dimulai sejak kecil saat rutin diajak orangtuanya pergi berkebun. Siapa sangka, yang awalnya hanya ikut-ikutan, aktivitas rutin tersebut sungguh menjadi profesinya di kemudian hari.
"Dulu sering main petak umpet di kebun. Pokoknya semua aktivitas di kebun. Hal itu yang membuat senang dan mencintai alam," katanya.
Kompasianer Guido Tisera ingat, ia mulai Bertani setelah tamat SMP. Tamanan pertamanya: cengkih. Seusai mengajar, ayahnya yang berprofesi sebagai guru akan mengajaknya ke kebun.
"Setiap sore ikut berkebun, jiwa bertani tumbuh sejak usia dini," ungkap Kompasianer Guido Tisera.
Selanjutnya, saat SMU Guido mulai fokus bertani sendiri di lahan warisan yang didapatnya. Berlanjut hingga ke suatu masa ketika sebagian gaji ayahnya dibelikan sebidang lahan untuk diolah oleh Guido. Bukan kepalang, ia makin menggemari dunia Bertani.
"Apalagi kita menyaksikan sendiri sekarang sudah besar. Ada rasa bangga," kata Kompasianer Guido. Ia menikmati semua prosesnya, dari belajar memetik cengkeh sampai menyortir cengkeh sebelum dijemur.
***
Selain mempelajari teknik bertani yang turun-temurun diajarkan oleh leluhurnya, Guido juga secara formal memperoleh ilmu pertanian di perguruan tinggi. Menempuh pendidikan di Universitas Warmadewa Bali, Kompasianer Guido dapat mengombinasikan pengalamannya dengan teori yang didapatnya di kampus.
Setelah lulus kuliah tahun 2018, Kompasianer Guido semakin memahami seluk-beluk bertani. Ia bahkan dapat berkontribusi lebih banyak dan memberi pendampingan kepada petani lain di desanya.
Memang, di daerah tempat Guido tinggal, yakni di Kabupaten Manggarai Barat, Flores NTT, petani dan peternak adalah profesi yang mendominasi. Menyusul kemudian, profesi sebagai pegawai dan pengusaha.
Kompasianer Guido Tisera menilai, jumlah petani berusia muda di daerahnya tidak bisa dibilang sedikit. Banyak, malah! Tetapi, motivasi di baliknya lah yang perlu dijadikan perhatian.
Tidak semua petani muda memilih menjadi petani karena kesadaran dan keinginan sendiri. Banyak juga di antara mereka yang melakukan aktivitas bertani karena putus sekolah. Sementara itu, tidak banyak opsi mata pencaharian di daerahnya.
Meski demikian, di lain sisi, Guido juga menceritakan tentang banyaknya anak muda yang memilih mencari kerja di perantauan alih-alih bertani di kampung.
Dengan dinamika anak muda yang haus mencari pengalaman ke luar daerah, Guido mensyukuri masih ada anak muda yang pulang kampung dan menjadi petani setelah menyelesaikan studi. Bahkan anak muda semacam ini lantas menjadi role model bagi anak muda lainnya di Flores.
"Banyak yang termotivasi seperti itu, jadi semacam inspirator anak muda untuk bertani di desa," ungkap Kompasianer Guido Tisera.
***
3 Tantangan Petani di Flores
Setidaknya ada 3 isu yang selama ini dihadapi oleh petani di Flores yang mau tak mau harus dipecahkan oleh Guido dan petani muda lainnya.
Satu, problem pemasaran hasil pertanian.
Guido menceritakan bahwa cengkih baru bisa dipanen setelah 11-12 tahun kemudian. Paling cepat pada tahun kelima atau keenam. Meski begitu, metode perawatan dan cuaca amatlah menentukan kapan cengkih bisa dipanen.
Dengan masa tunggu yang demikian lama, tentu saja strategi pemasaran hasil panen menjadi sangat krusial. Ditambah lagi, di Indonesia, kita masih lebih suka menjual produk mentah daripada mengolahnya lebih lanjut untuk meningkatkan nilai jual.Â
Guido sempat ingat cerita ayahnya pada pertengahan tahun 90-an pada masa Orde Baru, bahkan harga jual tanaman cengkih dari petani sempat anjlok. Inilajh yang perlu dihindari di kemudian hari.
Syukurnya para petani mudah ini adalah golongan yang lebih adaptif, lebih pintar menggunakan teknologi dan mencari informasi sehingga bisa mencari celah pemasaran yang lebih efektif.
Problem kedua adalah soal kepemilikan lahan.
Banyak petani di Manggarai tidak memiliki lahan sendiri. Pada praktiknya para petani di Manggarai adalah petani kecil yang menyewa lahan dari pemilik lahan/petani besar. Ada pula yang berprofesi sebagai buruh tani yang diupah secara regular.
Upah buruh tani sendiri biasanya disesuaikan dengan kesepakatan antar si buruh dan pemilik lahan.
"Oleh karena itu, upah yang diberikan pun lumayan besar. Hal itu seturut dengan beban jam kerja yang diberikan kepada buruh tani," tulis Kompasianer Guido Tisera.
Besaran yang bisa diterima buruh tani ini antara 70 ribu - 75 ribu per hari. Bayaran tersebut belum termasuk konsumsi dan biaya lainnya. Untuk jam kerjanya sendiri, banyak buruh tani di Manggarai bekerja selama 8 jam per hari. Intinya, terjadi kesepakatan antara pemilik lahan dan buruhnya.
Isu ketiga, ragam tanaman. Karena cuacanya yang panas, tidak semua tanaman bisa tumbuh di Manggarai. Tanaman sorgum, misalnya. Tanaman ini tidak bisa tumbuh di Manggarai. Tetapi Manggarai punya cengkih, kopi, vanili, jagung, umbi, ketela, dan baru-baru ini: porang.
Ini menjadi tantangan tersendiri bagi petani Manggarai untuk memaksimalkan varietas tanaman yang bisa tumbuh supaya keanekaragaman pangan khas tetap terjaga.Â
Meski begitu, semakin bertambahnya pengalaman bertani, Kompasianer Guido Tisera memutuskan untuk fokus pada 3 jenis tanaman: cengkeh, porang, dan cabai dalam skala kecil.
***
Tradisi Bertani di Manggarai Barat
Karena kegiatan bertani sudah menjadi bagian dari kebudayaan Manggarai Barat, Flores, NTT, maka pada setiap musim panen, warga memiliki tradisi sendiri untuk merayakannya.
Kompasianer Guido Tisera sempat menuliskan ada 3 jenis ritual adat yang biasanya diselenggarakan berurutan sejak masa tanam hingga ucapan syukur di akhir masa bercocok tanam.
"Ada Benso Rasi, Randang, dan Penti," tulisnya.
Benso Rasi adalah ritual yang dilakukan dan berkaitan dengan masa awal bercocok tanam. Sedangkan Randang adalah ritual yang dilakukan saat masa panen. Nah, untuk Penti sendiri dilakukan ketika masa bertani telah selesai.
"Upacara Penti biasanya dilangsungkan sekali dalam lima tahun. Tetapi ada juga rumpun keluarga di desa lain yang merayakannya setiap tahun," lanjut Kompasianer Guido Tisera.
Kearifan lokal ini perlu dilestarikan. Selain juga karena bila upacara tidak dilakukan, maka risiko yang dapat terjadi adalah datangnya marabahaya. "Hal ini ditandai dengan adanya gagal panen, hama wereng, bencana alam dan sebagainya," tulis Kompasianer Guido Tisera.
***
Guido dan Kompasiana
Menulis jadi cara Kompasianer Guido untuk bisa lebih mengenalkan dunia pertanian lebih luas. Kebiasaan berdiskusi sejak SMP-SMU, melatih dirinya untuk menulis.
Perkawanannya dengan Kompasianer Om Gege yang sering membagikan tulisannya di media sosial, membuat Kompasianer Guido Tisera mengenal Kompasiana.
Setelah setahun sekadar membaca-baca saja, barulah sejak Agustus 2019 Kompasianer Guido mendaftarkan diri di Kompasiana.
"Dulu kirain untuk jurnalis Kompas saja, ternyata kompasiana itu semacam blog dan siapa saja bisa menulis di sana," ungkap Kompasianer Guido. Selain permasalahan pertanian, Kompasianer Guido juga menuliskan seputar sosial budaya.
Inilah yang kemudian mengantarkan Guido sebagai kolaborator Topik Pilihan Kompasiana kali ini. Kegemarannya pada pertanian dan isu sosial budaya mendorongnya untuk menantang para Kompasianer menceritakan tradisi lokal yang berhubungan dengan dunia pertanian.
Kompasianer, adakah tradisi khas daerahmu untuk memperingati musim tanam dan panen? Adakah metode khas para petani di daerahmu yang masih digunakan turun-temurun hingga hari ini? Pangan lokal apa yang menjadi andalan di daerahmu?
Siap menjawab tantangan dari Kompasianer Guido terkait tradisi bertani di daerah Kompasianer? Siapkan kontenmu dan tayangkan di Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H