Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Masalah Kesehatan Mental di Sekitar Kita

15 Oktober 2020   19:40 Diperbarui: 16 Oktober 2020   13:40 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menjadi seorang relawan. (sumber: Thinkstock via kompas.com)

Bukan hanya menarik, membahas tentang kesehatan mental hari-hari sekarang ini akhirnya menjadi penting. Terlebih, kini sudah banyak yang berubah: bukan hanya teknologi, melainkan perilaku masyarakatnya.

Apalagi jika merujuk seperti yang dilansir dari Medical News Today, 13 April 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi mental yang tidak adanya gangguan atau kecacatan mental.

Kesehatan mental ini mengacu pada kesejahteraan kognitif, perilaku, dan emosional.

Oleh karena itu, dalam menjaga kesehatan mental, kita perlu juga untuk tetap menjaga kesehatan dan kebahagiaan yang berkelanjutan.

Kami akan coba rangkum beberapa buah pikir hingga pengalaman dari Kompasianer terkait kesehatan mental --terlebih ketika pandemi seperti sekarang.

1. Depresi Remaja, Kegelisahan Kita Bersama

Depresi pada remaja merupakan faktor penyebab meningkatnya kasus bunuh diri pada remaja | sumber: pixabay.com
Depresi pada remaja merupakan faktor penyebab meningkatnya kasus bunuh diri pada remaja | sumber: pixabay.com
Kompasianer Ayu Diahastuti menjelaskan bahwa depresi itu bukan stres. Deprersi dan merasa stres jadi 2 hal yang berbeda.

Sebab, stres itu  kondisi di mana individu merasa cemas dalam durasi sepanjang stresor hadir dalam aktivitas keseharian.

Ada frekunsi tertentu pada tiap individu yang terganggu sehingga maka tingkat stres pun akan naik dan turun.

Sedangkan depresi, tulis Kompasianer Ayu Diahastuti merujuk defini dari WHO, sebagai gangguan serius pada suasana hati yang ditandai dengan munculnya gejala penurunan suasana hati (mood).

"Depresi pada remaja biasanya tidak dapat terdeteksi sejak awal, karena pada masa remaja, terjadi kekacauan emosional. Gejala mungkin dapat dilihat bila terjadi permasalahan dengan teman sebayanya, atau di lingkungan sekolah," lanjut Kompasianer Ayu Diahastuti menjelaskan.

Akan tetapi, jika kita abai pada bentuk gejala depresi yang dialami oleh remaja ini, kemungkinan terburuk yang bisa dibayangkan Kompasianer Ayu Diahastuti adalah melakukan tindak bunuh diri. (Baca selengkapnya)

2. Tren Minta Dikasihani Publik lewat Isu Kesehatan Mental

Bila merasa ada yang bermasalah dengan kesehatan mental, maka konsultasikan dengan ahlinya, bukan membuat diagnosis sendiri. (Gambar: Freepik/Master1305)
Bila merasa ada yang bermasalah dengan kesehatan mental, maka konsultasikan dengan ahlinya, bukan membuat diagnosis sendiri. (Gambar: Freepik/Master1305)
Rasa-rasanya jika melihat bagaimana cara kita melihat penderita gangguan mental, saat ini, Indonesia bukanlah tempat yang ramah bagi mereka.

Kompasianer S. Leow bahkan menangkap fenomena itu: orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental sering kali didiskreditkan dari lingkungan sosial, pekerjaan, bahkan di dalam lingkungan keluarga.

Namun, sayangnya, ketika isu ini mulai mendapat tempat untuk dibicarakan, baik di ruang publik maupun media sosial, justru dianggap sebagai tren.

"Banyak orang yang dengan gamblangnya mengklaim dirinya mengalami gangguan kesehatan mental. Dengan mudah mendiagnosis dirinya mengidap bipolar hanya karena mengalami perubahan emosi yang mendadak, padahal hanya sedang mood swing saja," tulis Kompasianer S. Leow.

Padahal itu tidak bisa berdasar klaim sendiri. Orang dapat dikatakan mengidap gangguan kesehatan mental setelah mendapat diagnosis dari psikolog atau psikiater. (Baca selengkapnya)

3. Sebuah Nasihat: Jangan Menolong Orang yang Tidak Ingin Ditolong

Ilustrasi menolak meminta bantuan. (sumber: Freepik.com)
Ilustrasi menolak meminta bantuan. (sumber: Freepik.com)
Hubungan antara terapis dan klien ini nantinya akan berdampak pada proses jalannya terapi. Terapis harus menerima klien secara positif dan tanpa syarat serta bersikap empati. Di sisi lain, klien memang bertujuan untuk mencari bantuan.

Itulah relasi yang baik menurut Kompasianer Ardy Firmansyah ketika hendak melakukan konsultasi psikologi.

Akan tetapi yang kerap terjadi justru saat berusaha untuk memberikan nasihat, membantunya sekuat tenaga menolongnya, meluangkan waktu dan semacamnya, respon yang didapat malah diacuhkan.

"Proses terapi psikologi terlaksana memang  karena klien datang untuk mendapatkan bantuan, sehingga terapis bisa menolongnya. Lalu berdiskusi tentang masalah dan apa yang dikehendaki oleh klien untuk mengatasi masalahnya," tulis Kompasianer Ardy Firmansyah.

Oleh karena itu, bukan tidak mungkin, bisa saja pertolongan yang kita berikan malah membuat sesuatu menjadi bertambah buruk.

Situasi malah menjadi tidak karuan dan komunikasi semakin tidak sehat. (Baca selengkapnya)

4. Saya dan Pengalaman Merawat Orang dengan Gangguan Jiwa

Ilustrasi ODGJ | Gambar oleh Ryan McGuire dari Pixabay
Ilustrasi ODGJ | Gambar oleh Ryan McGuire dari Pixabay
Kompasianer Ismuziani Ita menceritakan bagaimana ia mulai bergabung dan terjun langsung menjadi perawat jiwa sejak 2005 di Aceh.

Kita tahu, pada tahun-tahun tersebut, di Aceh baru saja mengalami tragedi besar: tsunami.

Pengalaman saat menjadi Perawat Jiwa di komunitas tentu saja berbeda dengan pengalaman merawat ODGJ di Rumah Sakit Jiwa.

Kompasianer Ismuziani Ita ingat, ketika itu sedang memberikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Risiko Prilaku Kekerasan (di rumah pasien) dan pasiennya terus saja marah; tidak bisa diam.

Sayangnya orang-orang melihat pekerjaannya itu alih-alih untuk mengkhawatirkan, justru menyakitkan, seperti: Kamu gak takut sama orang gila?

"Jangan sebut mereka gila," sanggahnya pada mereka yang sering bertanya padanya. "Sebut mereka orang dengan gangguan jiwa." (Baca selengkapnya)

5. Jadi Relawan Kok Malah Curhat?

ilustrasi menjadi seorang relawan. (sumber: Thinkstock via kompas.com)
ilustrasi menjadi seorang relawan. (sumber: Thinkstock via kompas.com)
Satu waktu Kompasianer Gones Saptowati dibuat kaget setelah rapat koordinasi di Markas PMI. Temannya menghampir sambil berkata, "Mba, aku mau curhat."

Kompasianer Gones Saptowati paham dari mana permintaan itu berasal, karena sebagai relawan mereka diasumsikan layaknya superhero, penolong bagi umat manusia.

Ya, para relawan ini rela meninggalkan aktivitas kuliah, pekerjaan, keluarga, organisasi yang dinaungi berhari-hari bahkan sampai berbulan-bulan apabila bencana datang.

"Relawan juga sama seperti manusia pada umumnya, Ia memiliki resiko sama besar dengan penyintas pada umumnya," tulis Kompasianer Gones Saptowati.

Pertemuan korban yang mengalami trauma secara intens, beban kerja yang berlebihan serta banyaknya kasus yang harus ditangani bisa berdampak stres pada relawan atau bahkan relawan sendiri bisa mengalami vicarious trauma.

Vicarious trauma itu bisa muncul diakrenakan rasa peduli yang berlebihan relawan kepada penyintas, rasa ini menjadikan relawan merasa seolah-olah bertanggungjawab sepenuhnya terhadap yang dialami dan terjadi pada penyitas. (Baca selengkapnya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun