Benar, sebab tidak ada yang bisa dilewati waktu kecuali nilai-nilainya. Semestinya memang begitu sejarah diajarkan.
"Jika tak ada sejarah, nilai-nilai apa lagi yang akan diambil untuk membangun karakter yang baik? Ambil dari luar negeri? Oh, sudah pasti tak mungkin dan bertentangan dengan jati diri!" lanjutnya.
Setelah itu ada formula yang tak kalah menarik ditawarkan oleh Kompasianer Nahariyha Dewiwiddie dalam melihat sejarah.
Jika rasa ingin tahu dicampur dengan kenangan, akan menghasilkan sejarah. Sejarah yang membuatnya bisa melihat diri sendiri, dunia, maupun bangsanya. (Baca selengkapnya)
3. Pelajaran Sejarah yang Produktif
Munculnya pemikiran untuk tidak mewajibkan Pelajaran Sejarah sebenarnya mengejutkan dalam konteks negara yang terus atau memperkuat identitas kebangsaannya.
Secara umum, pengajaran sejarah adalah tentang metode pembelajaran yang menghubungkan proses dengan tujuan.
Kompasianer Aminuddin Malewa punya pandangan menarik untuk itu, sebab lewat pelajaran sejarah jadi pintu masuk yang legal untuk melakukan indoktrinasi ideologi.
"Pelajaran Sejarah menyediakan ruang yang konstitusional untuk melanggengkan hegemoni kekuasaan dengan membentuk pola pikir generasi muda memandang negara," tulisnya.
Oleh karena itu, publik semestinya sudah bisa mementingkan materi apa yang hendak diajarkan dalam pelajaran sejarah.
Dengan sendirinya, seperti yang ditulis Kompasianer Aminuddin Malewa, stigma menghafal akan gugur karena dari pelajaran sejarah yang produktif siswa akan dibekali metodologi dan kemampuan berpikir logis. (Baca selengkapnya)
4. Mungkinkah merevisi sejarah?
Yang dimaksud merevisi sejarah seperti yang ditulis Kompasianer Himam Miladi adalah bukan kita kembali ke masa lalu untuk memperbaiki peristiwa tersebut. Bukan! Merevisi sejarah itu dengan mencari kebenaran, fakta yang sesungguhnya terjadi pada masa itu.