Bunyi pasal 7 UUD 1945 menegaskan bahwa: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Hal itu berarti masa bakti Wakil Presiden Jusuf Kalla akan selesai pada 20 Oktober 2019 saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang baru: Joko Widodo - Ma,ruf Amin.
Peran serta peninggalannya selama menjadi Wakil Presiden tentu tidaklah sedikit bagi rakyat Indonesia. Apalagi pada 2 kali periode kepemipinannya bersama Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) dan Joko Widodo (2014-2019).
Kita mungkin masih ingat ketika Jusuf Kalla melakukan diplomasi untuk menjalankan perjanjian damai antara GAM dan RI pada awal kepemimpinannya tahun 2004.
Selain kesan dan pendapatan dari Kompasianer mengenai akhir masa jabatan Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada pekan ini Kompasiana juga diramaikan dengan tebak-tebakan Kabinet Kerja jilid II Presiden Joko Widodo hingga profesi "Ghostwriter".
Berikut 5 artikel terpopuler di Kompasiana dalam sepekan:
1. Salah Sangka terhadap JK
Sekadar mengingatkan, terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla pada Pemilu 2004 merupakan hasil pemilu pertama yang diselenggarakan di Indonesia.
Jadi, pasangan ini merupakan hasil pemimpin pertama pasca-reformasi.
Gebarakan awal pada Pemerintahan SBY-JK yaitu berhasil melakukan perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Ini tidak terlepas dari kemampuan Diplomasi JK, yang melakukan pendekatan persuasif dengan para petinggi GAM di Helsinki, Finlandia," tulis Kompasianer Ajinatha.
Tidak hanya itu, lanjutnya, ketika mendampingi Presiden Joko Widodo posisi penting JK sebagai Wakil Presiden adalah selalu mewakili Jokowi di Sidang PBB. (Baca selengkapnya)
2. Jangan Kecewa, (Mungkin) Tidak Banyak Tokoh Populer di Kabinet Jokowi
Kompasianer Thomson Cyrus berpendapat, akan banyak kejutan yang terjadi saat pengumuman susunan Kabinet Kerja jilid II.
Sebagai contoh, tulisnya, banyak tokoh-tokoh yang populer selama ini tidak akan diangkat oleh Jokowi baik menterinya yang masih menjabat saat ini.
Ada 3 alasan mengapa hipotesa itu bisa muncul. Pertama, lanjut Kompasianer Thomson Cyrus, bahwa Jokowi tentu sudah punya pengalaman dan belajar selama 5 tahun ini dari perjalanan pemerintahannya.
"Jokowi pasti paham postur kabinetnya. Jokowi juga sudah kenal betul, sudah memetakan di mana potensi dan di mana kelemahan kabinet kerja jilid I selama ini," tulisnya. (Baca selengkapnya)
3. Kian Terbatasnya Ruang Dokter Spesialis dan Subspesialis
Setelah terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan nomor 30 tahun 2019 (Permenkes 30/2019) tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, ternyata menyisakan masalah, seperti mengatur dan menegaskan kembali kualifikasi tenaga medis, alat-alat kesehatan dan penunjang kesehatan lainnya.
Kompasianer Meldy Muzada Elfa berpendapat, dengan munculnya permenken tersebut akant terjadi klasifikasi yang sudah ditentukan.
"Itu tidak dipenuhi maka akan berpengaruh terhadap perizinan rumah sakit dan tentunya terhadap legalitas suatu tenaga medis bekerja pada rumah sakit tersebut," lanjutnya.
Peraturan yang paling berpengaruh terhadap rumah sakit khususnya tipe C dan D adalah pengaturan kemampuan fasilitas dan jumlah pelayanan medik. (Baca selengkapnya)
4. Menggagas Prinsip-prinsip Kerja "Ghostwriter"
Yang menarik ketika kita berprofesi sebagai ghosewriter itu terdapat pada ketidaktahuan publik yang menjadi kunci.
Hal tersebut berkebalikan dengan watak natural dunia kepenulisan di mana semua harus gamblang dalam hal kredit dan apresiasi.
"Dari pengalaman sekian tahun menjadi penulis bayangan selama ini, hal paling mendasar yang perlu saya tekankan adalah bahwa kerja-kerja ghostwriter biasanya berkait dengan situasi kedaruratan dan periode waktu yang teramat sempit," tulis Kompasianer Wiwien Wintarto.
Berangkat dari latar belakang itu, semestinya klien atau pihak yang meminta untuk menuliskan sesuatu sebenarnya bisa saja.
"Mereka hanya tak punya waktu untuk mengerjakannya, apalagi sesuatu yang sebesar buku. Mereka mau tapi tidak mampu," lanjut Kompasianer Wiwien Wintarto. (Baca selengkapnya)
5. Apa yang Tabu di Negeri Kita, Ternyata Hal Biasa di Negeri Orang
Sekali waktu Kompasianer Roselina Tjiptadinata diundang oleh 2 orang temannya di Pecenongan, Jakarta Pusat.
Biasanya, jika kita mengundang teman teman makan maka biaya untuk makan dan minum itu ditanggung oleh orang yang mengundang. Pada momen ulang tahun, misalnya.
Namun, kalau di luar negeri, sebagaimana pengalaman Kompasianer Roselina Tjiptadinata, sekalipun itu pada acara ulang tahun kita akan memesan dan membayar sendiri-sendiri apa yang dimakan dan diminumnya.
"Beda negeri, maka berbeda pula tradisinya," lanjutnya. (Baca selengkapnya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H