Mikrolet telah mereka sewa untuk mengantar ke pasar Kebayoran. Kemudian, ondel-ondel diikat di atas mikrolet dan perlengkapan ngamen satu-per-satu di masukan. Bersama keempat orang dari Sanggar Cahaya Kelvin, aku, Havis dan Kevin diajak untuk ikut mereka ngamen.
Lagu berjudul Ujung Aspal Pondok Gede dari Iwan Fals mengawali pemberangkatan kami. Semakin lirih saja lirik lagu itu ketika salah seorang di antara tim itu menyanyikannya.
"Sampai saat tanah moyangku, tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota. Terlihat, murung wajah pribumi, terdengar langkah hewan bernyanyi," nyanyi lelaki tersebut mengikuti lagu yang diputar dari gerobak kecil yang digunakan untuk mengamen.
Sedangkan dalam perjalanan itu, sempat kami lihat beberapa orang tengah berdemo dan membakar ban di depan gedung pemerintahan.
"Kerja woy, demo mulu," teriaknya kepada yang berdemo yang padahal tengah bernyanyi. Mobil melintas begitu saja.
Ia mengisap dalam-dalam rokoknya, mengembuskan asapnya, sambil melanjutkan lirik lagu tadi "namun sebentar lagi angkuh tembok pabrik berdiri// satu per-satu sahabat pergi dan takkan pernah kembali."
Ada yang kemudian baru aku sadari: bahwa teriakan yang tadi kepada pendemo seakan menggambarkan bahwa betapa berat dan keras hidup di Ibu Kota.
Di saat ada yang tengah berjuang dengan cara demo, mungkin ia menduga ada sebagian kelompok orang yang bisa dapat uang dengan cara seperti itu. Sedangkan ia dan ketiga temannya yang ada di dalam mikrolet mesti bersusah payah bekerja dari sore-malam, berjalan kaki dari satu perkampungan ke perkampungan lain, demi menjaga kelestarian kebudayaan Betawi, ondel-ondel.
***