Dengan harga yang relatif murah, tapi rasanya yang tidak terlalu mengecewakan, barangkali, merupakan kemewahan bagi sebagian orang. Tempat makan yang dimaksud adalah warung sederhana, begitu banyak orang menyebutnya.
Namun terlepas dari harga makanannya yang murah, bahwa warung sederhana sejatinya adalah ruang interaksi sosial. Seperti di Solo, misalnya, warung-warung tersebut biasanya banyak bertebaran di sekitar pabrik atau kampus.Â
Banyak pemilik warung sekitar pabrik membuka warung, tulis Robbi Gandamana, Â tujuan utamanya adalah kemanusiaan. Para buruh pabrik dan mahasiswa sangat diuntungkan dengan keberadaan warung-warung sederhana itu.Â
"Uang adalah hal terakhir yang mereka perhitungkan. Laba sedikit nggak papa sing penting ajeg," lanjut Robbi Gandamana dalam tulisannya.
Selain itu, masih ada juga cerita menarik tentang Terang Bulan yang jadul hingga bumbu-bumbu khas Indonesia yang bisa menembus pasar mancanegara. Berikut 5 artikel kuliner pilihan kami selama sepekan ini:Â
1. Balada Warung Murah Pinggiran Kota
Hidup di pinggiran kota Solo, ungkap Robbi Gandamana, memang asyik. Harga makanannya masih murah-murah. Makan nasi dengan lauk telor dadar di warung sederhana hanya 6 ribu saja.
"Harga memang murah tapi rasa nggak mengecewakan," katanya.
Tetapi jika ditelisik lebih jauh, justru warung-warung sederhana seperti itu yang mengajarkan banyak hal tentang kemanusiaan.Â
Robbi Gandamana mencontohkan, kalau di warung sederhana makan sebanyak apapun sama sekali tidak diawasi. Rasa saling percaya sesama manusia terjalin dengan baik dan membudaya hingga hari ini. (baca selengkapnya)
2. Bu Wiwin dan Terang Bulan Jadul di Yogyakarta