Akan tetapi Zulfadli Tahir sama sekali tidak mengelak bila kebanyakan fanatisme yang selama ini dibangun antara klub dan suporter bisa berujung pada tindakan agresif, meski itu bisa saja cenderung positif.
"Semakin fanatik suporter, maka semakin tinggi tingkat agresivitasnya. Jika tak diredam, bisa sampai perilaku ekstrem," lanjutnya.
Menurutnya, bila melihat dari hipotesis demikian, idiologi rivalitas antar suporter kadang tidak bisa dijelaskan dengan nalar yang sehat. Semacam ada gengsi dan harga diri yang dijaga --bahkan bisa sampai dipertaruhkan.
Rasa-rasanya menjadi tidak adil bila melulu suporter yang disudutkan. Apalagi di tengah berkabungnya sepak bola nasional, ujar Ibra.
"Saya tak sependapat jika kemudian masalah suporter ini kemudian ditanggung sendiri oleh insan sepak bola. Seolah-olah menempatksn mereka yang suka (sepak)bola memiliki dunia berbeda dengan masyarakat pada umumnya," lanjutnya.
Ibra sendiri meyakini, energi "berlebih" suporter ini tidak dikelola dengan baik. Mau itu oleh klub atau PSSI secara keseluruhan. Sebab, kerja-kerja positif para suporter sepak bola jarang diketahui oleh masyarakat awam. Kemudian Ibra mencontohkan bagaimana kelompok suporter Semen Padang memiliki kerja kreatif membuat animasi yang kualitasnya setara dengan animator kenamaan.
"Jika tidak percaya silakan tengok akun media sosial mereka: Cerita Kerbau Sirah," ujarnya dalam catatan Terus Menyudutkan Suporter Tak akan Jadi Solusi Hentikan Kekerasan.
Sejatinya, dari kejadian ini kita menjadi tahu: sepak bola bukanlah sekadar permainan olahraga antara 11 orang melawan 11 orang di lapangan selama 90 menit, selepas itu masih ada permasalahan sosial, ekonomi --bahkan politik-- yang belum tersentuh dan (pantas) diperhatikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H