Dalam tulisannya, Edy Supriatna mengutip pernyataan Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robert, yang berpendapat sejatinya korupsi di Indonesia tak hanya merusak keuangan negara, tetapi juga menghancurkan pranata publik yang utama.
Karena eks napi koruptor tidak bisa dipandang sebagai narapidana biasa, maka sudah sepatutnya bagi koruptor dari kalangan penyelenggara negara pantas dicabut hak politiknya.
"Mengenai hal ini, pengadilan sudah melakukan kepada pelaku korupsi. Tak perlu disebut nama-namanya, apakah ia berasal dari partai politik dan lainnya," lanjut Edy Supriatna dalam catatannya tersebut: Referendum Eks Napi Koruptor Boleh-Tidaknya Ikut Bacaleg, Mungkinkah?
Namun, rasa-rasanya Andrian Habibi mempunyai pandangan yang berbeda dengan pencalonan kembali eks-kotuptor untuk nyaleg.
Setidaknya ada 3 pertanyaan besar yang diajukan Andrian Habibi, yaitu (1) kenapa dia melakukan tindak pidana korupsi?; (2) Kenapa dia masih mau mendaftar sebagal caleg?; dan (3) Kenapa juga parpol mendaftarkan mantan narapidana korupsi?
Dari ketiga poin pertanyaan, ia menyederhanakan menjadi satu, yaitu hak politik.
"Kita sepakat soal subtansi melawan korupsi. Begitu juga soal menyediakan hak pemilih untuk mendapatkan pilihan caleg yang berintegritas. Akan tetapi, bukan hak kita menghilangkan hak asasi (politik)," tulisnya.
Akan tetapi, lanjutnya, dengan cara mengizinkan penyelenggara dan pemantau pemilu yang terakreditasi menyebarluaskan informasi lengkap caleg koruptor, diharapkan pemilih lebih awas sebelum memberikan hak pilihnya.
***
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung ( MA) Abdullah menyebutkan, seharusnya larangan itu dinaikkan jadi UU (Pemilu) karena itu menyangkut larangan caleg itu seharusnya ada di dalam UU (Pemilu).
"Agar (lebih) mengikat," tegasnya.