Karena yang menjadi fans k-pop adalah kami. Bukan kamu, kalian atau mereka; apalagi kita. Lantas, apa yang bisa membuat gerangan begitu membenci kami?
Bahwa benar bila kami, barangkali, memang bisa membuat orang-orang menutup telinga, memalingkan mata, bahkan sampai tidak ingin menoleh sama sekali terhadap apa yang kami suka. Ya. Tapi, sungguh sampai hati, kami tidak ingin memaksa mereka menyukai apa yang kami suka. Biar kami menyahaja.
Dan K-pop, bagi kami, adalah cara aktulisasi atas apa yang kami idamkan. Mereka tidak hanya bernyanyi lagu cinta, tapi lebih dari itu, yang mereka nyanyikan adalah tentang perjuangan kaum muda. Sungguh, itu begitu dekat dengan kami. Mungkin juga kamu atau yang lain. Entahlah.
Namun yang membuat kami sungguh menggagumi K-Pop adalah masing-masing dari mereka memiliki kepribadian yang hebat. Juga imut, memang. Seksi, tentu saja, dan menggemaskan.
Atau, bagaimana ya menjelaskannya?
***
Sebenarnya K-pop sudah menarik perhatian sejak tahun 90-an. Tapi, sejalan kemudian, memasuki tahun 2000-an itu dibarengi dengan "ledakan media sosial" seperti Youtube dan Facebook, misalnya. Hal itu tentu saja berbanding lurus dengan penyebarluasan penonton K-Pop pada kawasan Asia secara keseluruhan. Dampak besar ini ketika itu dinamai: Hallyu Wave.
Sebagai contoh, melihat dari hasil penelitian yang dilakukan Sun Jung dari Vicrotia University, pada Oktober 2010, misalnya, Super Junior, boy band idola K-Pop ini, menduduki peringat nomor satu Twitter di seluruh dunia. Dan lonjakan ini jika dilihat berasal dari Indonesia. Topik apapun tentang boy band Super Junior selalu mendapat perhatian banyak lewat kicauan.
Masih dari penelitian Sun Jung, katanya, fenomena semacam itu menggambarkan bagaimana media sosial dapat meningkatkan--bahkan memberdayakan--budaya dan sirkulasi kultur K-Pop secara luas dan dianut oleh konsumen Asia dan (sampai batas tertentu) di dunia.
Selain karena media sosial, melesatnya pertumbuhan K-Pop di Indonesia disebabkan karena produk ini adalah produk pop hibrid: Dibuat dengan penuh kehati-hatian yang dapat menggabungkan aspek budaya Timur dan Barat kepada satu produk saja.
Dan menurut penelitian Sun Jung tadi, hibridasi budaya strategis tersebut adalah untuk memenuhi keinginan kompleks berbagai konsumen.
Itulah yang kemudian membentuk fandom K-Pop merebak di Indonesia. Situs-situs penyedia konten tentang K-Pop merebak. Kembali seperti penelitian Sun Jung, ada sekira 2.100.000 situs penyelia konten K-Pop dalam bahasa Indonesia. Juga didukung lebih dari 86 juta dalam bahasa Inggris. Maka, tidak heran jika kebutuhan fandom akan idolanya terpenuhi. Bahkan lebih dari itu, membangun pasar baru.
Mengutip dari laporan yang dibuat Majalah Time, misalnya, penyebaran situs-situs tersebut, bagi banyak artis di industri musik Korea yang ada jauh di luar sana menjadi lebih dekat dengan pembaca. Orang-orang suka (artis Korea) dan ingin tahu lebih banyak tentang mereka.
Ajeng Darismata, misalnya, menjelaskan Indonesia dianggap sebagai satu di antara banyak negara yang penting menjadi penyebaran kebudayaan Korea. Lewat K-Pop inilah yang kemudian menjadi gaya hidup anak-anak muda.
Generasi muda yang sangat potensial, menurutnya, berhasil menguatkan posisi mereka di dunia internasional.Â
"Ketampanan dan kecantikan serta fesyen yang menarik dari bintang-bintang atau artis Korea sendiri yang menjadikan alasan masyarakat menyukai budaya K-POP," tulisnya dalam Agresi Budaya Korea Melalui K-Pop di Indonesia.
Tidak hanya itu, Johanes Marcel percaya, K-Pop lahir tidak langsung dengan keberhasilan yang luar biasa.Â
"Mereka mengalami begitu banyak pasang-surut, mulai dengan tidak diterimanya musik mereka di pasar internasional, bahkan sampai ditolak di berbagai media musik internasional," tulisnya.
Ada 5 tahapan, paling tidak, yang membuat K-Pop ini bisa didapuk sebagai fenomena terbesar industri musik abad 21: Perancang (Planner), Pembangun (Developer), Penunjuk Jalan (Guide), Penerang (Lights), hingga Penerus Jalan (Successor).
***
Sebagai penggemar K-Pop, tentu saja, Novita Diahayu merasa dianggap "aneh" oleh orang sekitarnya. Menurut mereka, kami yang menyukai K-Pop ini alay.
Namun, setelah Novita Diahayu mencari tahu apa-yang-ia-suka-itu ada hal-hal yang ia dapatkan. Semisal: menghilangkan kegalauan. Banyak lagu Korea, katanya, yang jika kita hanya didengarkan beat-nya saja sudah membuat kita terhanyut dan tanpa kita sadari kita tertarik untuk menggerakkan tubuh untuk bernari-nari energik.
"Hal ini cenderung membuat lupa akan kegalauan kita," tulisnya.
Kemudian dari menyukai K-Pop itu sendiri Novita Diahayu mampu untuk menambah penguasaan bahasa asing. Bahasa Korea kini sedikit banyak telah ia pahami.Â
Ternyata ada benarnya, belajar dari apa yang disuka jauh lebih mudah dan menyenangkan.Â
Membaca curhatan Serena Phaung di sebuah platform sosial seperti menyadarkan bahwa kesuskaannya terhadap K-Pop bisa begitu mengusik hidupnya. Bahkan temannya sampai mengatakan dengan kata-kata yang mengejutkan: "Gila! Obsesif!"
Serena Phung juga menyadari itu dan ia tidak keberatan sama sekali. Oleh karenanya, pada satu waktu ia hanya bisa membayangkan, "Mendengarkan lagu-lagu K-Pop yang disukai dan bergabung ke fandom yang sama. Sehingga kami berdua bisa bersama-sama berkerumun tentang grup favorit kami.
"Tapi itu jauh lebih sulit daripada yang saya pikirkan," katanya. Maka yang ia lakukan adalah tidak memaksa temannya untuk menyukainya. Sebab, tidak semua orang memiliki selera musik yang sama.
Jadi cukuplah, tidak perlu membuat sumpah serapah kepada kami. Karena, barangkali, menjadi penggemar K-Pop adalah solusi, di mana kami bisa beraktualisasi. (HAY)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H