Â
Kementerian Agama merilis 200 nama penceramah yang dianggap moderat serta jauh dari ajaran intoleran dan radikal. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengungkapkan, rilis 200 nama penceramah tersebut untuk memenuhi permintaan masyarakat. Selama ini Kementerian Agama (Kemenag) sering mendapatkan pertanyaan mengenai rekomendasi penceramah yang baik.
"Karena dalam beberapa hari terakhir, kami banyak mendapat pertanyaan dari sejumlah kalangan terkait kebutuhan untuk bisa mendapat penceramah yang baik," kata Lukman di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (18/5/2018), seperti dikutip dari Kompas.com.
Ada tiga indikator yang digunakan Kemenag untuk menentukan nama-nama penceramah yang baik. Pertama, penceramah harus punya kompetensi tinggi terhadap ajaran agama Islam.
Kedua, penceramah itu harus punya pengalaman yang cukup dalam berdakwah. Ketiga, penceramah itu juga harus terbukti memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi.
Meski bertujuan baik, keluarnya rilis penceramah yang baik versi Kemenag menuai polemik di kalangan masyarakat. Misalnya menimbulkan kebingungan di masyarakat ketika menerima penceramah di luar daftar dari Kemenag, yang akhirnya menimbulkan rasa saling curiga.
Supaya lebih jelas, berikut 5 pandangan Kompasianer yang mewakili kebingungan masyarakat mengenai 200 ulama rekomendasi Kemenag:
1. Rekomendasi Penceramah ala Kemenag yang Membingungkan
Kompasianer Khrisna Pabichara merasa kebingungan perihal indikator yang digunakan Kemenag untuk menyeleksi nama-nama ulama yang menurut mereka baik.
Misalnya, indikator kompetensi keilmuan agama yang mumpuni. Apakah yang tidak direkomendasi berarti tidak mumpuni ilmu agamanya? Indikator ini menurutnya membuat Kementerian Agama seakan-akan mencurigai warganya. Rilisnya 200 mubalig yang diakui negara berkompeten, menurutnya jumlah itu terlalu sedikit.