Sudah 2 tahun belakangan, Indonesia dijadikan tempat penyelenggaraan pameran buku Big Bad Wolf di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City. Ada 3 kata yang paling tidak bisa menggambarkan meriahnya pameran buku tersebut: murah, ramai dan kualitas.
Sebagai generasi yang gampang terpengaruh oleh keriuhan sosial media, Widha Karina akhirnya ikut penasaran dan tertarik karena update-an teman-temannya tentang Big Bad Wolf, 2016. Hal pertama yang didapati ketika mendapati pameran buku tersebut adalah memangnya orang Indonesia segitunya nyari buku? Segitunya suka buku dan mau membelanjakan banyak uang untuk buku? Widha Karina bangga, "ternyata orang Indonesia beringas juga berburu buku!" tulisnya.
Hal serupa jadi perhatian Bambang Trim pada acara Kompas-Gramedia Fair (KGF) 2015 di JCC, Jakarta. Ia melihat, di kota meski daya beli orang-orangnya tinggi, apalagi mereka yang dicap kelas menengah, entah mengapa minat membelinya tidak terlalu kencang. Faktanya penjualan buku di toko-toko buku mulai menurun.
Ajang seperti KGF yang mendiskon habis buku-buku bagus kadang membuat kalap mereka yang punya waktu sekaligus punya uang di kota. Minat mereka dibangkitkan dengan tebaran buku-buku berharga murah.
"Beberapa kutu buku memang memaklumi seni berburu buku di arena-arena pameran atau pesta diskon semacam KGF," tulisnya.
Andai buku bisa diregulasi dan dipantau sirkulasinya, rasa-rasanya kutipan dari Mochtar Lubis ini ada benarnya: Buku itu senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk perubahan dalam nilai-nilai manusia dan kemasyarakatan.
(HAY)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H