Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sudah Saatnya Merebut Suara Perempuan untuk Pemilu?

20 April 2018   15:06 Diperbarui: 21 April 2018   07:36 1280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay.com / Mohamed Hassan)

"Sikap mudah emosi dan gampang menangis, diakui atau tidak, telah menjadi domain perempuan," tulisnya..

Mengutip apa yang dikatakan Vingerhoerts, secara fisiologis saluran air mata perempuan memang lebih dangkal ketimbang laki-laki. Dan perempuan membutuhkan waktu 6 menit untuk menangis dibanding laki-laki yang hanya 2-3 menit saja.

"Juga hormon testosteron juga diketahui dapat meredam keinginan menangis pada laki-laki," ujar Vingerhoerts.

***

Dinda Lindia Cahyani membuka esainya Kesadaran Politik Perempuan Masa Kini dengan semangat yang menggebu: ia membandingkan bagaimana perempuan (atau, dalam hal ini merujuk ibu-ibu) memandang politik itu. Kalau di kampung, katanya, boro-boro mikirin politik urusan sumur, dapur dan kasur saja sudah membuat pusing. Berbeda dengan di kota: dalam kesempatan apapun, pembahasan politik, bagi mereka, selalu menarik.

Perempuan Indonesia, lanjutnya, sebenarnya kini lebih dimotivasi dari berbagai pihak untuk sadar politik dan ikut menyumbang kontribusinya dalam ranah politik. Tentu bisa secara langsung atau tidak. Ikut bertarung dalam kontestansi politik praktik atau tidak. Banyak caranya, beragam.

"Seperti halnya seorang ibu yang menjadi madrasah pertama bagi anaknya," tulis Dinda Lindia Cahyani dalam esainya, ketika menganalogikan peran dan kemampuan perempuan dalan membangun bangsa-negara.

Dugaannya, mengapa masih ada perempuan yang cukup abai dalam politik, adalah karena streotip terhadap politik itu sendiri. Politik digambarkan, sehingga tergambar menakutkan. Oknum, meski jumlahnya banyak, yang memerkosa politik menjadi wajah trauma di kalangan masyarakat (perempuan, pada khususnya).

Seperti yang diamantkan Undang-Undang, keterwakilan perempuan di Parlemen itu 30 persen. Ada yang menarik melihat dua pemilu terakhir di Indonesia: kandidat perempuan pada saat pencalonan 2014 mengalami peningkatan daripada Pemilu 2009. Namun, perempuan yang terpilih pada Pemilu 2014 jumlahnya mengalami penurunan.

Jika melihat data tersebut akan mudah kita asumsikan: ada penurunan tingakat kepercayaan antara pemilih dengan yang dipilih. Permasalah yang ditemukan Niyyatinur Efendi adalah kesenjangan gender mesti dihadapi dengan matang. Kapasitas mereka "sebagai perempuan Indonesia" mesti ditingkatkan.

"Perempuan yang terjun ke dunia politik kadangkala bukan karena kemampuannya, tetapi karena kedekatannya dengan relasi kuasa," tulis Niyyatinur Efendi. Tentu itu tidak menutup kemungkinan, dan kenyataannya memang ada, karena memiliki kapabilitas yang mumpuni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun