Kurang lebih 50 juta data pengguna Facebook bocor dan digunakan konsultan politik Cambridge Analytica untuk kampanye memenangkan presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Rupanya potensi kebocoran itu sudah pernah diperingati oleh mantan pegawai Facebook sendiri sebelumnya.
Adalah mantan Operations Manager Facebook, Sandy Parakilas, yang sempat memperingati Facebook untuk membuat sebuah sistem guna memantau aktivitas para pihak ketiga. Namun, peringatan itu tak dianggap penting.
"Sangat menyakitkan melihat apa yang terjadi sekarang, karena saya tahu Facebook sebenarnya bisa mencegah kejadian ini," katanya seperti dikutip Kompasiana dari KompasTekno (22/3/2018).
Bocornya data Facebook berdampak langsung kepada kepercayaan pengguna yang kemudian membuat aksi untuk menutup akun mereka. Salah satu penggagasnya adalah mantan pendiri WhatsApp, Brian Action. Melalui akun Twitternya ia menyerukan #DeleteFacebook. Aksi itu kemudian ramai dibicarakan dan di-retweet ribuan pengguna. Dampak lainnya adalah saham Facebook merosot tajam hingga 6,8 persen atau sekitar Rp 509 triliun.
Pemilik dari raksasa media sosial ini, Mark Zuckerberg, pun akhirnya meminta maaf atas kejadian bocornya data tersebut. "Kami memiliki tanggung jawab untuk melindungi data anda, dan jika kita tidak bisa maka kami tidak layak untuk melayani anda," tulis Zuckerberg di akun Facebooknya. Permintaan maaf suami Priscilla Chan itu juga dimuat di 10 koran nasonal Amerika dan Inggris.
Bocornya data dan seruan untuk menutup akun Facebook mendapat tanggapan beragam dari beberapa Kompasianer. Antara lain, Sri Rumani, yang menilai data pengguna memang sangat penting dan perlu dijaga agar tak jatuh ke pihak tak bertanggung jawab, dalam hal ini seperti Cambridge Analytica.
"Data yang ada di media sosial seperti facebook dapat diolah menjadi informasi sebagai aset perusahaan yang mempunyai nilai ekonomis untuk diperjualbelikan. Mengingat setiap orang untuk dapat memanfaatkan fasilitas media sosial facebook harus mengisi identitas pribadi," tulis Sri lewat artikel berjudul Data Media Sosial Facebook Bocor, Harus Bagaimana?.
Ia juga menilai seruan untuk menutup akun Facebook tidak perlu lantaran media sosial yang sudah berusia 11 ini sudah memberikan manfaat. Terpenting, menurutnya, adalah membuat sistem lebih baik lagi sehingga pengguna merasakan keamanan dan kenyamanan ketika menggunakannya.
Berbeda halnya dengan Kompasianer Tilaria Padika yang tidak kaget dengan adanya kebocoran data pengguna dari Facebook. Justru, ia merasa kaget karena publik baru terkaget-kaget belakangan ini.
Lewat tulisan Data Facebook Bocor, Mengapa Kaget?, Tilaria menjelaskan perihal kebocoran data pengguna sebenarnya sudah berpotensi sejak lebih dari 10 tahun lalu. Argumennya, adalah perihal program prism: perjanjian kerja sama antara NSA dan  perusahaan-perusahaan raksasa terkait internet seperti Google, Facebook, Apple, Yahoo, Microsoft, dan raksasa internet di Amerika.
"Kerjasama itu memperbolehkan agen-agen NSA mengambil data pengguna, bukan sekedar metadata tetapi juga materi terkait riwayat pencarian, isi email, transfer file dan obrolan langsung pengguna, langsung dari server perusahaan. [...] Melalui 'Prism,' NSA mengumpulkan beragam data dan konten komunikasi user, bukan saja penduduk AS tetapi juga penduduk seluruh dunia yang menggunakan layanan dari perusahaan-perusahaan AS," tulisnya. Untuk tulisan selengkapnya bisa dibaca di sini.