Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Menimbang Batas-batas Realis dalam Fiksi

15 Januari 2018   20:50 Diperbarui: 16 Januari 2018   20:10 1974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (@_HarRam)

“The secret of happiness is to face the fact that the world is horrible, horrible, horrible.” ― Bertrand Russell

Ini bukanlah tip dan trik memudahkan membuat cerita realis. Bukan. Tidak ada yang mudah kalau belum mencobanya, bukan? Tapi paling tidak inilah kisah-kisah realis yang amat sayang bila dilewatkan begitu saja. Selain karena menarik, kisah-kisah realis berikut menjadi permenungan yang baik. Menjadikannya cermin untuk melihat kita, setidaknya, lebih dalam lagi.

***

Dinal dan Elika. Kedua tokoh utama ini yang kemudian membawa kita akan pikiran-pikiran linear Aristoteles. Bagi seorang Dinal, ia adalah Aristoteles Muda. Reinkarnasi yang ia buat sendiri. Sedangkan Elika, adalah perempuan yang kadung mencintai Dinal --dan segala kegilaan, serta mimpinya.

Membaca cerpen "Pulangnya Aristoteles Muda" yang ditulis Mawan Sastra, kita akan diajak mengikuti tiap babak kehidupan dan gagasan Aristoteles. Sinis, kritis dan idealis. Pembaca dipaksa --secara tidak sengaja-- masuk ke dalam cerita melalui tokoh Elika.

Kita, sebagai pembaca, akan mudah saja menerima segala dengan sinis pikiran Dinal. Semisal, mengakali kendaraan roda dua seperti yang diinginkan Elika dan entah bagaimana caranya ia mendapatkannya. Atau, tokoh-tokoh yang berhaluan kiri, di mana bagi Dinal, begitulah semestinya hidup --dan mengakhiri hidupnya. Mengutip esais asal Prancis, Arthur de Gobineau, karena setiap manusia tidak diciptakan setara. Ada hal-hal yang membuat tingkat kesetaraan itu: putih, kuning dan hitam. Ketiga warna itu, yang kemudian oleh Mawan Sastra jabarkan ke dalam 3 tokoh dengan 3 karakternya.

"Hidup ini sejatinya seperti kepingan-kepingan puzzle. Untuk bisa utuh, terkadang kita harus mati-matian mencari potongan lain," ujar Dinal.

***

Sepertinya Barcelona memang kota yang dibangun atas dasar kesedihan dan kenangan. Bangunan-bangunan tua, jalan-jalan yang selalu ramai pengunjung; melihat bagaimana sejarah kota tersebut lahir. Semua terjadi begitu saja laiknya orang yang tidak peduli dan sembarangan membuangnya. Itulah yang akhirnya dinikmati Chris di La Rambla, satu kota yang tiba-tiba terjadi teror. Perjalanan yang semula bertema liburan malahan menjadi rutinitas hariannya: meliput kejadian.

Pada cerpen "La Rambla" yang ditulis Trie Yas, kita diajaknya menyusuri kejadian demi kejadian selama Chris di sana. Melihat-lihat kota yang dibangunnya, lengkap dengan masalah yang ada. Namun yang membuat pekerjaan itu rumit adalah kota La Rambla merupakan kota di mana duka untuk pertama kali digoreskan --luka yang dalam.

Batas yang nyata dan maya silih berganti mana kala Chris mendatangi sebuah cafe dan melihat lukisan setengah jadi. Ditatapinya lukisan itu. Lamat-lamat. Sebelah mata yang kelabu itu tampak seperti mata yang terluka. "...siapapun yang melukiskannya pasti dengan penuh tekanan. Seolah menitipkan luka."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun