Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Kembalinya Keunguan Sastra Kita

12 September 2017   10:23 Diperbarui: 13 September 2017   21:11 2805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pixabay)

Tema-tema dari keenam karya berikut memang ada yang secara langsung atau tidak menghadirkan sisi "keunguan" tersebut. Semisal cerpen Andi Wi (Mengunjungi Ibu). Pada cerita ini, sudah tentu, mengisahkan bagaimana kerinduan seorang anak kepada Ibunya. Perasaan yang timbul-tenggelam karena kesepian. Ada rasa kehilangan yang kerap dirasakan acapkali saling bertukar kabar di telepon. 

Masalah akan perasaan mencapai puncaknya manakala tahu ketika mendapati kabar Ibunya sakit. Perjalanan menjumpai Ibu itulah yang terasa amat personal dan bahkan bisa dialami oleh banyak perantau.

Apalagi yang terasa personal selain kenangan itu sendiri? Tema itulah yang coba diangkat oleh Wirdan Bazilie (Kafe yang Menyajikan Kenangan). Namun, dari beberapa fragmen yang disajikan, ada hal yang menarik ketika merasakan kenangan oranglain. Kenangan seorang gadis kecil yang bermain-main di pantai. Atau, akan terasa juga jika kita lihat puisi S. Aji (Mendoakan Pemakaman Gerimis): kenangan yang ditempatkan di sebuah pemakaman. Kematian yang dirundung kesunyian. Dan cara terbaik, bagi S. Aji, adalah tetap mendoakan.

Kita tak pernah memiliki bahagia yang kau harapkan dari diam di bawah gerimis.
Kita hanya diberi rasa ragu di kamu. Keyakinan di aku. Dan masa depan.
Sisanya, keberanian untuk memilih: membiarkanku tetap dicelotehi diam atau meminum gerimis dari matamu!

Dua cerpen lainnya juga mengisahkan keintiman persaan yang personal: tentang kecintaan anak-anak kepada Ibu Lientje yang mantan seorang pejuang itu (Pejuang Terakhir) dan tentang kisah cinta segitiga antara Amara dengan Jo dan Rendra. Meski kedua cerpen ini tidak dilatarbelakangi hal yang sama, namun perjuangan dalam mempertahankan sikap menjadi menarik untuk simak.

***

Secara tersurat puisi M. Nasir Pariusamahu (C) menceritakan tentang keadaan sosial tanah kelahirannya; tentang bagaimana segala telah dirampas oleh keserakahan. Dan, yang menjadi sangat pesonal adalah saat di mana kecintaan itu direlakan. Perhatiakan bait berikut: 

Sebelum beta mati
Beta pesan buat tuan-tuan di tanah pusaka
Tanah yang kalian gali, akan menjadi kuburan mayatmu.

Ini seakan mengarahkan pemabaca untuk tetap ingat, kepada dirinya masing-masing, bahwa Tanah yang kalian gali, akan menjadi kuburan mayatmu.

***

Mencoba mencari benang merah antara keriuhan (pilihan) politik identitas yang tengah gagah-gagahnya di sosial media dengan sikap personal yang cenderung individual itu akan terasa semakin menarik. Apalagi tahun depan akan diadakannya Pilkada Serentak! Dan yang jadi pertanyaan adalah apa warna "keunguan" itu semakin terang atau memudar?

(HAY)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun