Abrahah bersama pasukan gajah lainnya berhasil mengambil seluruh unta milik pasukan Quraisy di Mekkah. Kemudian, Abdul Munthalib menghadap Abrahah untuk berbicara baik-baik guna mengambil unta miliknya. Abrahah tahu, Abdul Muthalib adalah tokoh terkemuka Quraishy dari Bani Hasyim. Singkat cerita, setelah sebentar berbincang denga Abdul Muthalib, akhirnya Abrahah mengembalikan unta miliknya. Hanya miliknya sahaja.
Sekembalinya Abdul Muthalib dan unta-untanya dari tempat Abrahah, ia memerintahkan pasukannya pergi meninggalkan Mekkah dan mencari pegunungan atau perbukitan untuk sembunyi dan menyelamatkan diri. Abdul Muthalib tahu, bahwa tidak mungkin pasukannya bisa mengalahkan pasukan Abrahah yang jumlahnya sangat banyak. Jika pun terpaksa bisa jadi sia-sia.
Setelah yang lain pergi, Abdul Muthalib bersama beberapa orang Quraishy malah menuju Ka'bah untuk berdoa kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya. Sambil memegang pintu Ka'bah, Abdul Muthalib bersyair:
Ya Allah, seorang hamba saja membela untanya maka belalah rumah-Mu
Mereka tak akan berjaya, tipu daya mereka pasti sirna oleh tipu daya-Mu
Berkaitan dengan urusan mereka dan kiblat kami, kami berserah pada-Mu.
Dan seperti yang kita tahu: gajah-gajah besar Abrahah tiba-tiba menolak untuk diarahkan ke Mekkah. Gajah-gajah tersebut jadi bergerak liar. Ketika mereka tengah sibuk mengatur gajah-gajah, Allah mengirimkan burung-burung ababil dari arah laut, menyerang pasukan gajah Abrahah.*
Dari syair dan dalam keadaan seperti itu, kita akan paham: doa menjadi sarana untuk memperoleh jalan keluar atas kehendak-Nya.
***
Pringadi Abdi membuka puisi Muhammad dengan larik penuh ketegasan dan (mencoba ingin) tidak lagi dibantahkan: Kau adalah peristiwa direncanakan. Dari puisi itu, Pringadi Abdi mencoba menceritakan bahwa Muhammad adalah utusan, sekaligus Pemimpin Akhir Zaman, yang jauh-jauh hari telah disiapkan-Nya. Oleh karenanya, larik kedua disambungnya dengan sejak awal semesta.
Andai cinta berbentuk, barangkali, ia menjelma susunan kata yang dilantunkan dengan penuh keikhlasan. Dua larik terakhir, Pringadi Abdi mengungkapkannya kecintaanya – ketulusan yang tak bisa ditawar – dengan manis sekali: meski bukan yang pertama mengenal air mata / tapi Kaulah tempat terakhir kuteteskan cinta.
Dari puisi itu jelas bahwa, disamping mendoakan, ternyata mencintai apa yang dicintai-Nya sama baiknya dengan memohon rahmat dan kemuliaan. Itulah yang kita cari dan harapkan, bukan?
***