Lagu Halo-halo Bandung memang merupakan simbol untuk kota Bandung. Namun, lagu tersebut memiliki makna tentang peristiwa besar yang melatarbelakanginya.
Menurut Kompasianer Dede Taufik, Lagu Halo-halo Bandung merupakan sebuah luapan emosi para pejuang dan rakyat. Â Mereka berjanji akan datang kembali pada kota Bandung tercinta, yang dulu pernah menjadi lautan api pada tanggal 24 Maret 1946.
Sebelum pada akhirnya tanggal 24 Maret diperingati sebagai hari "Bandung Lautan Api", terjadi peristiwa besar yang melatarbelakangi. Kota Bandung dibumihanguskan bersih. Dalam waktu tujuh jam, 200.000 penduduk membakar rumah dan harta benda mereka, kemudian mengungsikan diri ke wilayah selatan. permbakaran tersebut terjadi atas dasar keputusan para tokoh pejuang saat itu.
Tujuan para pejuang membumihangusan Kota Bandung ketika itu adalah agar tentara Sekutu dan Netherland Indies Civil Administration (NICA) tidak dapat menguasai Bandung. Karena untuk melawan mereka, Tentara Rakyat Indonesia (TKR) dan sekumpulan rakyat tidak mampu menandingi lawan dengan pengalaman Perang Dunia II tersebut.
Istilah "Bandung Lautan Api" berawal dari kesepakatan yang diputuskan untuk membumihanguskan Kota Bandung melalui Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) pada 23 Maret 1946. Salah satu tokoh pejuang ini bernama A.H Nasution. Istilah "Bandung Lautan Api" juga terlihat pada harian Suara Merdeka pada 26 Maret 1946. Ini ditulis oleh seorang wartawan muda bernama Aji Bastaman yang menyaksikan langsung peristiwa pembumihangusan Kota Bandung tersebut.
Tentu saja keputusan untuk membakar serta meninggalkan kota seperti ini sangatlah tidak mudah. Di balik peristiwa ini, alasan rakyat Bandung mengorbankan kota tercintanya untuk dibakar demi melindungi diri dari serangan musuh patut dihormati dan diambil pelajarannya. Menurut Kompasianer ummy latifah, rakyat Bandung kala itu terutama warga sipil sudah berkorban sangat besar karena mereka dengan sukarela mematuhi perintah meninggalkan rumah yang sudah nyaman mereka tinggali.
Ummy menceritakan bahwa menurut A.H Nasution, keputusan membumihanguskan Bandung saat itu merupakan keputusan rasional agar tidak banyak memakan korban seperti pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November. Di samping itu, kesediaan rakyat Bandung untuk mengungsi sampai membakar sendiri rumahnya memperlihatkan bahwa mereka rela berkorban demi kedaulatan bangsa. Sikap patuh pada pemimpin seperti inilah yang rasanya sudah jarang ditemukan di masa sekarang.
Jika melihat Kota Bandung sekarang yang dipimpin oleh Ridwan Kamil, Bandung masih memiliki banyak kekurangan namun di sisi lain juga menampilkan kelebihan. Dengan latar belakang pendidikan sebagai arsitektur, Ridwan Kamil mampu menata kota Bandung dengan apik. Banyak taman dan tempat-tempat yang ditata rapi dan cantik sehingga nyaman untuk digunakan bermain dan beraktivitas bagi para warganya.
Jika perjuangan masyarakat kota Bandung di zaman penjajahan dulu lebih kepada sangat menaati pemimpinnya dengan membakar rumah mereka, di zaman sekarang masyarakat Bandung berjuang dalam hal lain. Kota Bandung mulai bersolek dan menjadi salah satu kota dengan industri kreatif terbesar di Indonesia.
Banyaknya kekayaan alam dan tingginya kreativitas SDM yang ada di sini menjadikan Kota Bandung sebagai barometer pertumbuhan industri kreatif di tingkat nasional. Tidak heran jika berbagai predikat muncul dari kota besar yang dikenal sebagai pusat perkembangan mode, pusat kreasi seni dan budaya, pusat jajanan dan kuliner, serta Paris van Java yang sekarang menjadi salah satu icon tujuan wisata Bandung. (sumber)
Namun, di samping itu, kawasan Bandung Selatan kini terkenal dengan "Bandung Lautan Air" karena tidak pernah luput dari banjir. Masalah banjir yang belum selesai ini patut menjadi catatan besar untuk pemerintahan Kota Bandung mengenai struktur kota bagian selatan yang sebetulnya tidak bisa dijadikan sebagai kawasan permukiman warga tersebut. Ridwan Kamil mengatakan masalah banjir Bandung yang tak pernah selesai itu ada pada tata ruang. (Baca mengenai banjir Bandung di sini)