Mohon tunggu...
LuhPutu Udayati
LuhPutu Udayati Mohon Tunggu... Guru - ora et labora

Semua ada waktunya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dunia Tanpa Koma

3 Oktober 2018   16:28 Diperbarui: 3 Oktober 2018   16:52 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkadang kerapuhan membuat seseorang merasa sendiri saja meghidupi hidup, 

padahal kerapuhan justru membesarkan jiwa dan menyemaikan kehangatan perjalanan, 

lantaran kerapuhan serupa sinar matahari yang akan muncul 

hanya menunggu awan gelap menjauh dari dirinya.

Dienda  lama mengamati kalimat-kalimat yang masuk ke chat WA nya, karena merasa aneh saja, tetiba ada seseorang yang mengirimnya. Untuk apa? Maksudnya apa? Ditelusurinya identitas pemilik nama pengirim chat, tidak tercantum. Hanya nomor  dan foto profil pemandangan pagi di hutan raya Botanical Garden Bedugul Bali.

Belum selesai menelisik pemilik nomor WA tersebut, masuk lagi satu chat,

padahal di balik kerapuhanmu kutemukan keangkuhan sekaligus kesombonganmu.

Deg. Panas menjalari seluruh wajah Dienda. Siapa berani seperti ini?

Kamu,siapa? gemas dibalasnya chat tanpa alasan itu

eh..begitu sigap dibalasnya

Aku, dunia tanpa koma, yang pernah selalu ada dalam dunia sendirimu.

Dienda tercekat.

Pikirnya terseret jauh ke masa berkuliah di sebuah kota kecil.

Pertengkaran kecil, tapi sumbunya sudah lama dirambati api kecemburuan, sehingga ledakannya menghancurkan segenap asa dan impian mereka. 

"Alasanmu, selalu sama. Tugas liputan melulu. Kapan waktumu untukku?" Dienda protes keras, karena Jim membatalkan  begitu sajalagi dan lagi, acara nonton pertunujukkan teater malam itu.

Entah sudah berapa kali janji tidak pernah ditepati , atau direalisasikan oleh Jim, karena dia mementingkan pekerjaannya. 

"Mencobalah mengerti,Dienda. Aku bekerja untuk membiayai kuliahku. Aku bekerja supaya masa depan kita bisa menjadi lebih baik."

Jim meraih tangan Dinda, namun ditepis keras oleh Dienda.

Jim tersinggung.

"Dienda, aku ini jurnalis. Dunia kerjaku, dunia tanpa ko..."

"Bosan aku mendengar perkataan dunia tanpa koma itu,Jim"

"Kalau kata-kata itu selalu kamu jadikan alasan untuk aku tetap bertahan mendampingimu, maka mulai sekarang aku yang akan memberi tanda baca, tapi bukan koma lagi. Titik." Dienda menangis marah.

" Kita sudahi semuanya sampai di sini. Berjalanlah terus dengan dunia tanpa koma mu itu. Aku masih seorang perempuan biasa yang butuh seseorang untuk dapat kuajak berbincang banyak hal. " Dienda akhirnya menumpahkan kekesalan hatinya, dan memilih memutuskan jalinan kasih mereka tanpa mau lagi berlelah hati menunggu Jim kekasihnya yang terlalu larut sebagai seorang jurnalis muda dengan bakat dan talenta yang dikagumi banyak teman kampus mereka.

Jim menunduk, tapi ekor matanya tak lepas menatap kepergian Dienda kekasihnya. Ingin direngkuhnya tubuh mungil itu, agar kembali tetap berada dalam pelukannya. Tapi, Jim lebih memilih mencitai pekerjaannya saat ini. 

"Suatu saat aku akan datang kembali untuk memelukmu, karena aku yakin, kamu tak bisa menjauhkanku dari hidupmu, dari hatimu. Perasaan kita telanjur menyatu." JIm menggumam. Bangkit dari tempat duduknya. Pergi menjauh berbeda arah dengan Dienda. 

Pertengkaran kecil itu hampir dua tahun lalu, masa-masa Dienda menyelesaikan skripsinya. Dan selama dua tahun itu pula, lelaki yang hidup dalam dunia tanpa koma, membayangi perjalanan hidupnya. Dienda mengakui, dirinya sesungguhnya menjadi rapuh, setelah memutuskan sepihak hubungan mereka.

Dibacanya kembali chat yang barusan dia terima.

Kangen dan bahagia. Tapi rapuh, lantaran Dienda baru saja berpisah dengan suaminya.

Dunia memang tanpa koma, mengalir terus...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun