"Ibu, ajari aku menjadi kuat, sepertimu." terisak-isak sepagi ini, seperti membasuh semua lelah yang baru dirasanya selama enam bulan, tak sebanding dengan lelah yang dirasakan ibunya membesarkan dirinya. Bertahun-tahun. Ibunya tersenyum.Â
"Pasti. Kamu pasti bisa. Kamu akan menjadi perempuan yang lebih kuat dari aku, karena kamu terbuat dari seluruh doa dan cintaku." Ibu tersenyum dan mencium kening Clareta dengan sepenuh-penuhnya.Â
Sesudah itu, mereka berpisah menuju tempat kerja masing-masing. Berusaha mencari wisatawan  yang mau memakai jasa mereka. Entah memintal rambut atau memijat-mijat tubuh mereka.Â
Tapi sayang, hidup tak pernah mengabarkan kematian.
Percakapan di pagi itu,  sebatas  kenangan.Â
Suwitri, perempuan pujaannya telah dipanggil Tuhan. Â Sore itu mereka berdua tiba di rumah hampir bersamaan. Suwitri mengeluh kecil tentang sakit yang dirasa di bagian tengkuknya. Ia minta dibuatkan teh hangat selesai mandi. Sungguh, teh hangat itu tak akan pernah direguknya lagi. Â Suwitri pergi dijemput takdirnya pada sore yang berhujan, di balai-balai kecil ruang tamu mereka.
Seluruh kerabat dan teman-teman pantainya berdatangan menemani Clareta. Doa-doa telah didaraskan, melambung tinggi mengantarkan jiwa perempuan kesayangan Clareta menuju surga abadi.Â
Hati Clareta patah. Untuk kali kedua.Â
 Satu-satunya harta berharga yang membuat dia merasa menjadi orang terkaya di dunia telah diambil Sang Pemilik Kehidupan.
Clareta menyimpan gelisah di bening mata penuh gelombang kehidupan.
Perempuan berambut ombak, bermata gelombang membiarkan dirinya diayun takdir,Â