Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sosok Pahlawan Masa Kini, Masihkah Ada?

14 November 2016   15:17 Diperbarui: 15 November 2016   11:19 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upacara unik memeringati Hari Pahlawan di Magelang. Kompas.com

Di hari pahlawan, selain mengenang jasa para pahlawan terdahulu yang telah gugur di medan perang, kita sebagai generasi penerus bangsa saat ini haruslah memaknai dengan bijak jasa-jasa mereka. Salah satu yang tidak boleh dilupakan adalah semangat dan daya juang mereka yang menghantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan. Kita masih bisa melakukannya saat ini, tentu dikondisikan sesuai dengan kemajuan zaman.

Setiap tahun kita mengenang jasa para pahlawan. Namun, semakin terasa peringatan tersebut hanya sebatas "peringatan", mutunya sudah menurun dari tahun ke tahun. Tugas kita sebagai pemuda masa kini memang tidak lagi memegang bambu runcing untuk berperang melawan musuh seperti dahulu, tetapi lebih kepada mengisi kemerdekaan ini dengan makna baru sesuai perkembangan zaman yang semakin dinamis. Karena persaingan kini bukan lagi di medan perang, tetapi di tingkat intelektualitas.

Selain itu, kontribusi masyarakat juga tak kalah penting. Karena untuk memajukan bangsa, ilmu yang didapatkan selain berguna untuk diri sendiri, juga harus dibagikan pada orang lain. Setiap orang bisa menjadi "pahlawan" dengan caranya masing-masing.

Pemuda yang dapat menginspirasi Indonesia pada saat ini salah satunya adalah Liliyana Natsir. Menurut Kompasianer Henri Gontar, pebulu tangkis yang namanya sudah sangat mendunia ini memang memilih jalur bulu tangkis sebagai jalan hidupnya dari kecil. Ia rela meninggalkan Manado sebagai tempat tinggalnya demi meraih impiannya dan berangkat ke Jakarta untuk fokus berlatih bulu tangkis sejak berusia 12 tahun.

Lilyana Natsir dan Tontowi Ahmad di Olimpiade 2016. Kompas.com
Lilyana Natsir dan Tontowi Ahmad di Olimpiade 2016. Kompas.com
Henri menyampaikan bahwa Liliyana telah dapat dianggap sebagai "pahlawan" Indonesia masa kini karena ia telah mengharumkan nama bangsa dengan prestasi yang telah ia goreskan. Jika ingin menjadi bagian dari perubahan bangsa, para pemuda harus terus berprestasi. Sebagai pahlawan muda, kita dapat mencontoh Liliyana karena ketekunan, kegigihan, dan sikap pantang menyerahnya, ia bisa membuat Indonesia bangga. Sikap pahlawan pada masa zaman dahulu tetap masih bisa dicontoh namun tentu harus disesuaikan dengan perubahan global masa kini yang terus bergerak dinamis.

Dengan keterbukaan dan era digital kini telah membawa kita untuk melihat dunia yang semakin penuh dengan persaingan. Apabila kita tidak menyiapkan diri dengan segala kemungkinan perubahan yang akan terjadi, ini dapat menjadikan kita hanya sebagai penonton nantinya.

Menjadi seorang pahlawan biasanya tidak "seenak" seperti yang banyak orang pikirkan. Karena sejatinya seorang pahlawan haruslah berani berkorban dan berjuang untuk orang lain, dan tentu harus mengesampingkan kepentingkan diri sendiri. Seperti yang disampaikan oleh Kompasianer Ina Tanaya, sosok pahlawan lain yang dapat menginspirasi kita saat ini adalah adalah Yustita Wartati.

Seorang ibu berusia 51 tahun ini adalah salah satu sosok penggerak pendidikan di desa Kampung Laut, Cilacap. Karena akses menuju desa yang sangat jauh dan cukup sulit, desa Kampung Laut seperti menjadi desa yang terpinggirkan. Kampung Laut yang tadinya tidak memiliki sekolah dan tidak dialiri listrik, telah berhasil dibangun oleh ibu Yustita atau yang biasa dipanggil dengan ibu Tati.

Yustita Wartati. Metrotvnews
Yustita Wartati. Metrotvnews
Berawal dari ibu Tati yang diboyong suaminya ke desa Kampung Laut setelah pernikahan mereka, tetapi, tak disangka suaminya justru malah meninggalkannya tanpa pamit. Menghadapi kondisi seperti itu, justru tidak membuat ibu Tati menyerah. Ia melanjutkan kehidupan dengan tegar.

Anak-anak di desa Kampung Laut tidak tersentuh pendidikan sama sekali. Jumlah anak yang bersekolah sangat sedikit. Kampung Laut tak memiliki fasilitas dan temapt pendidikan yang memadai. Selain itu, anak-anak juga harus berjalan kaki sejauh tiga hingga lima kilometer dan harus menyeberang dengan sampan untuk menuju Sekolah Dasar (SD) terdekat. hanya terdapat satu SMP. Di samping itu, untuk SMA harus dilanjutkan ke darat atau menyeberang ke Cilacap.

Melihat kondisi pendidikan di Kampung Laut yang sangat menyedihkan ini, ibu Tati kemudian mencoba mengajar anak-anak TK walaupun ia tidak mempunyai latar belakang seorang guru dan hanya lulusan dari Sekolah Pertanian Menengah Atas. Ia yakin bahwa anak-anak itu harus memperoleh masa depan yang lebih baik. Karena tak memiliki tempat untuk mengajar, ia mengawalinya dengan menawarkan rumahnya sebagai sekolah.

Setelah anak-anak lepas dari TK, banyak orangtua yang mendesak ibu Tati untuk melanjutkan mengajar SD. Karena para orangtua khawatir jika anak-anaknya harus  belajar di Sekolah Induk dengan menyeberang memakai perahu kecil, apalagi jika musim hujan tiba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun