Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Puluhan Kompasianer Tanggapi Ulah Florence Sihombing

20 September 2014   17:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:08 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Florence Sihombing (Kompas.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Florence Sihombing (Kompas.com)"][/caption] Ulah Florence Sihombing melalui ucapannya yang dinilai menghina warga Yogyakarta, tempo lalu ramai diperbincangkan netizen, begitu pun di Kompasiana. Florence Sihombing bak bahan yang bisa diolah menjadi apa saja, tema Florence Sihombing disajikan dalam sajian budaya, etika, demokrasi, penegakan hukum, konstitusi yang mengatur kebebasan berpendapat, dan masih banyak yang lainnya. Florence dan Budaya Yogya Lely Nur Azizah dalam tulisannya "Jogja Tak Berbudaya Katanya" menanggapi kejadian Flo ini dari sudut pandang psikologi. Ada yang bertanya apakah Florence normal? Lely mengutip pendapat Halgin & Witbourne (2009) bahwa ada standar budaya dalam penilaian abnormalitas, yang dalam hal ini Florence bisa dikatakan abnormal karena tidak sesuai dengan budaya tempat dia tinggal. Yang berarti, perilaku Florence yang tidak diterima oleh budaya setempat yaitu budaya Yogyakarta. Yogyakarta menurut Imam Prasetyo diungkapkan dalam artikelnya berjudul "Fenomena Ekspresi Warga Yogya: Dulu dan Sekarang" dirasa telah berubah. Ini tercermin dalam respon warga Yogya terhadap ulah Florence Sihombing. Menurut Imam Prasetyo Yogyakarta telah menjelma menjadi ironi yang sering timbul dalam celetukan, baik itu ketoprak atau dagelan-dagelan, bahwa orang Jawa (baca: Yogya) itu kalau jengkol dan dongkol tidak bakalan terlihat dan ditunjukkan dengan bentuk blangkon dengan bonggol (mondol/konde) yang berada di belakang. Dan Florence Sihombing sebagai perantau telah dihabisi dengan pola dan sosio-kulturisme masyarakat Yogya yang sudah 'remuk' tergerus oleh blak-blakan ala media online. Yeano Andhika berusaha memahami bagaimana sisi lain dari Kasus Florence Sihombing, Yeano Andhika dalam "Sisi Lain Kasus Florence Sihombing" mengungkapkan bahwa celotehan Flo di media sosial adalah akumulasi dari ketidakmampuan Flo dalam beradaptasi dengan kehidupan Yogyakarta. Ungkapan-ungkapan seperti "Yogya membosankan", "Orang Jakarta dan Bandung jangan tinggal di Yogyakarta", ataupun " Apalah arti Yogya tanpa UGM". Pentingnya adaptasi dengan lingkungan menjadi penting, karena tidak bisa kita memilih satu kampus untuk berkuliah, tanpa beradaptasi dengan lingkungannya. [caption id="attachment_360134" align="aligncenter" width="336" caption="Dok. Sahroha Lumbanraja/Kompasiana"]

1411111444365675402
1411111444365675402
[/caption] Sahroha Lumbanraja mengangkat isu yang lebih sensitif,  yaitu "Ide Sweeping Orang Batak dari Yogya? Segitunya! Salah satu netizen di sosial media mengusulkan untuk melakukan sweeping orang Batak di Yogya, menurut Sahroha ide ini dirasa berlebihan, karena bisa jadi memicu pertikaian antar suku di Indonesia. Muncul juga bantahan dari Mawalu dalam artikel berjudul "Belum Pernah Ada Orang Batak yang Mengamuk Membabi Buta dan Lapor Polisi Ketika Dibilang Dasar Batak", menyampaikan dari sudut pandang budaya yang sama dengan Florence. Kultur Jawa yang berbudi pekerti halus, dan menyimpan banyak misteri jelas berbeda dengan kultur orang Sumatera yang kasar, meledak-ledak, jujur, polos, dan apa adanya dalam mengungkapkan sesuatu. Tanpa bermaksud membenarkan perilaku yang sudah dilakukan oleh Flo, tetapi penjelasan mengenai karakteristik dari budaya ini membuat kita bisa memahami hal ini. Mawalu juga memprotes Polda DIY yang terlalu lebay, dalam menangani kasus ini. [caption id="attachment_360108" align="aligncenter" width="482" caption="Dilansir dari detik.com, Edisi 27 Agustus 2014 pukul 15:08 WIB via Kompasiana/Lely Nur F"]
1411105659270238500
1411105659270238500
[/caption] Apa Beda Florence dengan Koruptor? Yunety Tarigan dalam artikelnya "Perubahan Perilaku: Berkata 'Maaf'" membandingkan antara Florence Sihombing dengan koruptor. Setelah berulah di media sosial Path, Flo mendapat peringatan dari kampusnya, kemudian Flo meminta maaf, orang tua Flo juga meminta maaf, hingga Flo ditangkap sampai Sultan Yogyakarta pun turun tangan. Raut muka Flo saat diliput media pun menampakkan ekspresi penuh penyesalan. Berbeda dengan Flo, koruptor yang dilihat di media elektronik, keluar dari kantor KPK, ada yang tersenyum dan melambaikan tangan. Tak tampak raut muka sedih dan penyesalan. Dari semua pelaku korupsi, tak ada yang menyatakan "maaf" sebagai bentuk penyesalan. Ody Salahudin, dalam artikelnya "Bercermin dari Kasus Florence Sihombing" juga terlihat greget dengan hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas, dan masih banyak kasus lain yang lebih berat dibandingkan dengan Kasus Flo tetapi belum diselesaikan. Ody bahkan mengutip pendapat putri dari Wiji Thukul, Fitri Nganthi Wani, bahwa Prabowo, Wiranto, Hendropriyono, Pembunuh Wartawan Udin, Pelaku Reklamasi, Sitok Srengenge, Dul, Rasyid Rajasa, dll adalah tidak lebih kejam dari Flo karena mereka masih bisa bebas berkeliaran. Kemudian pertanyaan Farida Chandra yang dirasa menggelitik, pertanyaan seperti "Sarja Hukum Kok gitu sih?" Apa yang dilakukan sarjama hukum atau khususnya mereka yang berprofesi sebagai penegak hukum, sebetulnya sama saja. Sarjana hukum atau bukan, sebagai warga negara tentunya wajib taat pada peraturan yang berlaku. Farida Chandra membandingkan ulah Flo yang tidak ada apa-apanya dengan beberapa tokoh yang bekerja di profesi hukum atau sejenisnya seperti Sarjana Ilmu Kepolisian. Seperti Djoko Susilo, yang terjerat kasus simulator SIM, atau Pak Urip Tri Gunawan yang konon merupakan jaksa terbaik sehingga mendapat amanah menyelidiki kasus BLBI. Kemudian Jaksa Urip malah tertangkap basah menerima suap. Kasus Flo Dibandingkan Kasus Lebih Besar Lainnya [caption id="attachment_360174" align="aligncenter" width="624" caption="Pemimpin Redaksi Tabloid Obor Rakyat Setyardi Budiono (tengah) memperlihatkan halaman muka Obor Rakyat edisi ketiga di Badan Reserse Kriminal Polri, Senin (23/6/2014) / Kompas.com"]
14111277541179270266
14111277541179270266
[/caption] Kompasianer Daniel Ht bahkan mengaitkan masalah Flo dengan kasus Obor Rakyat. Daniel Ht menyampaikan, apa yang ditulis Flo kepada warga Yogya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang dilakukan Obor Rakyat secara berbulan-bulan kepada calon presiden, dengan setimen SARA. Valerian malah mengaitkan kasus Flo dengan nasib jemaat El Shadai Sleman Yogyakarta. Menurut Valerian, pihak Polda Yogya yang terlalu berlebihan, seolah lupa jika banyak kasus heboh sebelumnya yang masih menggantung dan menyisakan pekerjaan rumah yang belum selesai. Jemaat gereja El Shadai harus urunan setiap pekan agar bisa menyewa ruangan untuk beribadah. Padahal, sebelumnya mereka sudah punya tempat ibadah sendiri yang dibangun secara swadaya. Judicial Review UU ITE [caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Sumber: Kompas.com"]
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Sumber: Kompas.com
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Sumber: Kompas.com
[/caption] Andreas Ab dalam artikelnya "Florence dan Tahanan Korban Pasal 27 Ayat 3 UU ITE" mengingatkan kita untuk menilik kembali keberadaan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE, yang sampai saat ini juga masih menjadi perdebatan dan desakan untuk dilakukan judicial review. Kebebasan berinternet di Indonesia sangat terbebani dengan UU ITE pasal 27 ayat 3 ini, karena memiliki ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara. Ary Lesmana juga dalam artikelnya "memahami Yogya pada kasus Flo", malah menyarankan agar Flo memperjuangkan judicial review ke MK atas pasal-pasal dalam UU ITE ini. UU ITE ini pada banyak kalangan menuai kontroversi, banyak pasal karet karena bisa dikenakan kepada siapa saja yang dituduh menyebarkan kebencian. Flo sebagai korban dari UU ITE ini, sekaligus mahasiswa S2 Kenotariatan UGM bisa memulai langkahnya untuk memperjuangkan judicial review. Sedangkan menurut Hendra Budiman, "Kompasianer Terancam" dengan adanya UU ITE ini. Sejak diberlakukan UU ITE tahun 2008, kurang lebih sudah 32 orang yang menjadi korban. Dari daftar korban, yang paling populer adalah Prita Mulyasari. Meskipun putusan MK pada akhirnya membebaskan Prita, tapi Prita harus meringkuk ditahanan selama 22 hari. Bila terbukti salah, orang terkena ancaman enam tahun penjara. Jika tidak bersalah, tetap merasakan hidup di balik jeruji seperti Flo yang menginap dua hari di hotel prodeo. Apa yang menimpa Flo di Yogya, dengan ancaman pasal teror itu, telah menimbulkan iklim ketakutan dalam masyarakat, terutama para netizen seperti Kompasianer. Yogyakarta yang Mulai Padat Putriendarti adalah orang asli Yogya, dalam artikelnya "Sesederhana Fanatisme Kedaerahan" melihat Kasus Flo sebagai cerminan permasalahan warga Yogyakarta. Sebagai orang asli Yogya, Putriendarti melihat transportasi umum Yogya yang mulai punah, orang-orang yang tinggal di Yogya menyederhanakan masalah transportasi Yogya dengan menggunakan kendaraan pribadi, padahal inilah yang menjadi sumber munculnya kemacetan di Yogyakarta. Memaafkan dan Sikap Reaktif
14111058441585649648
14111058441585649648
Screenshoot Permintaan Maaf Florence (liputan6.com) Katedrarajawen mengajak kita untuk tidak begitu reaktif dalam menanggapi kasus Flo. Katedrarajawen menyesalkan ketika begitu banyak netizen yang membully Flo di dunia maya, bereaksi dengan cara tidak baik juga, bahkan salah satu LSM melaporkan Flo ke pihak berwajib. Padahal, LSM tersebut belum tentu mewakili keseluruhan warga Yogyakarta. [caption id="attachment_360176" align="aligncenter" width="560" caption="Sumber: Hendra Wardhana/Kompasiana"]
14111287712142466769
14111287712142466769
[/caption]

Nurul Indra juga mengajak warga Jogja untuk memaafkan Flo, mengingat orang Yogya yang ramah, baik, dan pemaaf. Gaganawati juga mengangkat tentang "Indahnya Pemberian Maaf Sultan HB X untuk Florence" Sultan sebagai pemimpin Yogya ini memberikan teladan yang luar biasa bagi warga Yogya, jika Sultan saja memafkan, masa warga Yogya tidak mau memaafkan?

Hendra Wardhana dalam artikelnya berjudul "Jogja itu Ramah dan Pemaaf" menyampaikan bahwa dirinya tidak kaget dengan kerasnya tanggapan warga Yogya.  Hendra mengakui dirinya tidak kaget dengan tanggapan keras itu karena sebelumnya pernah menjumpai fenomena serupa dalam kadar yang lebih rendah. Hendra pernah menyajikan data statistik kemiskinan di Yogyakarta, dan kemudian menarik kesimpulan bahwa DIY adalah yang termiskin di Jawa. Saat itu menurut Hendra banyak tanggapan yang hampir semuanya bernada defensif dan tidak setuju bahwa Yogya itu miskin. Hendra bertanya ada apa dengan Yogya? City of tolerance itu kini seolah mudah dibuat panas oleh hal-hal yang sebelumnya hanya ditanggapi dengan guyonan khas Yogya. Kasus Florence meski hanya riak kecil tetapi harus segera diatasi dengan sigap agar Yogya tetap menjadi laboratorium yang menjadi model toleransi serta perdamaian.

Sedangkan menurut Thomson Cyrus, Florence adalah kita, dia mewakili diri kita, yang setiap saat akan dihantui oleh masalah-masalah yang menghadang. Dan membesar dan meluasnya kasus Flo adalah karena respon kita yang berlebihan. Ketidakdewasaan Kita dalam Berdemokrasi Agustinus Sani Nugroho dalam artikel "Jogja Itu Indah dan Tuhan Tersenyum (Tidak Membusuk)", mengajak kita untuk mengambil pelajaran bahwa di balik demokrasi dan kebebasan berbicara yang merupakan hak individu setiap orang itu selalu melekat hak orang lain yang juga harus dihormati. Agustus Sani melihat dari kasus Flo, bahwa bukan Flo saja yang belum dewasa dalam berdemokrasi (dalam bersosial media), ada banyak pemimpin dan wakil rakyat yang merasa dirinya "terhormat" bahkan tidak menghargai demo0krasi dan kebebasan berbicara yang saat ini kita nikmati. Semoga, apa yang terjadi pada Florence Sihombing menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk semakin dewasa dalam berdemokrasi baik di sosial media maupun dalam kehidupan sehari-hari. (ACI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun