"Ini bukan jamannya rumah bordil." Mungkin seperti itulah pola pikir para pebisnis esek-esek di era digital masa kini. Terancam diberangus dan ditutup paksa oleh pemerintah membuat penjaja gelora surga dunia berpikir lebih praktis dan kreatif memanfaatkan peluang. Selain meminimalisasi biaya, cara menggaet konsumen pun seolah lebih mudah apabila menggunakan sarana media sosial yang bisa dijadikan arena transaksi.
Berita kematian Deudeuh Alfisahrin yang terbunuh oleh pelanggannya sendiri menjadi simbol nyata geliat aktivitas prostitusi online. Tak hanya mengundang pewarta untuk meliput, tetapi juga mengundang opini dari masyarakat soal prostitusi online ini. Berikut 9 artikel pilihan yang membagikan opini, pandangan serta hasil pengamatan soal prostitusi online:
1. Booming Prostitusi Online "Kecil-kecilan" di Twitter
Jika berita kematian Deudeuh Alfisahrin (26) alias Tataa Chubby mencuri perhatian publik yang dikabarkan menigggal dunia akibat ulahnya dalam bisnis prostitusi online, tahun 2013 lalu Agung Soni telah mencium geliat nakal ini yang berlangsung di dunia maya.
Dalam artikelnya di laman Kompasiana, Agung Soni menuliskan bahwa berita penangkapan orang yang mengelola prostitusi online di Bogor awal Februari 2013 baru saja tersiar. Publik pun dibuat terperangah ketika blog yang dikelola mahasiswa itu ternyata menyediakan jasa kencan dengan wanita-wanita penghibur. Media sosial seperti Twitter menjadi “lapak” bisnis esek-esek ini.
Facebook dinilai kurang tepat dipilih penyedia jasa esek-esek. Twitter yang menyediakan 140 karakter dianggap lebih praktis dan tidak harus memakan “loading” software terlalu banyak. Singkatnya, memang FB juga bisa diakses lewat smartphone, tapi Twitter sangatlah praktis, menurut berbagai sumber yang ia cari keterangannya.
2. Prostitusi Online Bukanlah Barang Baru
Berita pembunuhan terhadap seorang penghuni kost yang melakoni praktek esek-esek di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pada hakekatnya yang menjadi fokus bahasan bukanlah sekadar soal pembunuhan, melainkan praktek prostitusi online yang disinyalir dilakukan oleh korban.
Seperti yang ditulis oleh Reno Dwiheryana, bicara soal prostitusi, khususnya di wilayah Jakarta, sebenarnya bukanlah barang baru. Sudah bukan rahasia lagi bahwa praktek prostitusi di Ibu Kota dilakukan dengan dengan beragam bentuk, antara lain prostitusi berkedok tempat pijat, prostitusi berkedok hotel, prostitusi berkedok tempat hiburan atau karaoke, klub malam yang menyajikan penari erotis, dan tentunya prostitusi berkedok kost-kostan yang kini semakin marak.
Lagi-lagi sarana sarana online dianggap lebih praktis, di mana penyedia layanan esek-esek ini tidak harus terhubung oleh mucikari maupun mami atau berbagai istilah dalam dunia prostitusi sebagai perantara.
3. Media Sosial, Hedonisme dan Prostitusi Online
Tempat jual-beli yang cukup efektif untuk saat ini adalah melalui internet. Hal ini diamini oleh Ariyani Na. Media sosial memang sarana yang ampuh untuk mempromosikan barang atau jasa, karena internet sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari.
Bahkan untuk kampanye pun para caleg menggunakan media sosial. Berhubung belum adanya larangan atau batasan penggunaannya, tidak dapat dihindari bila media sosial ini juga pada akhirnya dijadikan media promosi untuk kegiatan prostitusi online.
4. Aku dan Prostitusi Online
Penampilan seorang mahasiswi yang sederhana dan terkesan lugu bisa saja menjadi kamuflase geliat prostitusi terselubung. Rita Wulandari menuliskan bahwa teman di kampusnya sebenarnya ada beberapa yang “bermain” di dunia prostitusi online, tentunya memakai nama dunia maya.
Rita yang melihat iklannya, sampai terperangah, tidak menyangka bahwa temannya melakoni hal ini. Padahal di kampus ia (teman Rita) adalah sosok sederhana, yang jauh dari kesan nakal, apalagi sampai bekerja sebagai PSK yang menjajakan diri dari satu pria ke pria lain, tak peduli pria tua atau muda, ganteng atau jelek, gemuk atau kurus, wangi parfum atau bau badan.
5. "Lebih Dahsyat" dari Letusan Merapi
“Prostitusi online adalah salah satu bukti nyata dampak buruk pesatnya teknologi yang kian mengkhawatirkan,” demikian salah satu penggalan opini Giyat Yunianto dalam artikel yang ditulis di Kompasiana.
Fenomena ini menjadi hal yang mengkhawatirkan, karena tanpa disadari prostitusi online dapat masuk ke seluruh ruangan rumah kita, bahkan dalam “genggaman” kita. Jika dibiarkan meluas, Giyat berpendapat, dampak negatif yang ditimbulkan akan “lebih dahsyat” dari letusan gunung merapi.
6. Lokalisasi dan Prostitusi Online
Media sosial sebagai produk teknologi informasi juga bukan lagi hanya dimiliki oleh kalangan menengah ke atas. Media sosial dan media online sudah menjadi bagian dari seluruh kehidupan masyarakat dari segala strata sosial.
Akibatnya, tak dapat dicegah lagi bila prostitusi juga dijajakan secara online, karena melalui teknologi informasi itulah sekarang para PSK merasa “merdeka” dan dapat menyembunyikan jati dirinya tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Kapan saja dan di mana saja.
7. Prostitusi On Line Menyasar Anak-anak
Apalagi anak-anak begitu senang menggunakan internet. Anak teman Muthiah mendapat kiriman dan tawaran melalui inbox di Facebook. Ketika dibuka, ternyata penawaran pelayanan sex plus link untuk mengetahui secara detail.
8. "Darurat Prostitusi" atau "Gejala Anomi"? [Menanggapi Musni Umar]
Dalam judul artikel tersebut, Felix Tani menanggapi tulisan Kompasianer bertajuk “Darurat Prostitusi, Dimana Peran BKKBN?” Menurut Felix, Bukan frase “darurat prostitusi” yang menjadi judul artikel tersebut yang menarik untuk dibahas, melainkan sebuah gejala sosial-ekonomi kronis semacam itu berkaitan erat dengan gejala prostitusi, yakni pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, dan politik.