[caption id="attachment_364810" align="aligncenter" width="560" caption="Ratusan kendaraan mengantre BBM di sebuah SPBU. (Kompas.com)"][/caption]
Pada pertengahan Agustus 2014, antrean panjang terjadi di SPBU-SPBU sejumlah daerah. Tidak sedikit warga yang mengantre dengan membawa jeriken. Selain faktor takut kehabisan premium bersubsidi, ada pula warga yang memanfaatkan momen yang mereka anggap sebagai momen "kelangkaan" BBM bersubsidi itu untuk meraih keuntungan yang lebih banyak. Jadilah harga BBM bersubsidi di pengecer-pengecer melambung. Itu pun dalam stok yang sedikit. Sementara itu, tidak sedikit SPBU yang memasang pengumuman kehabisan BBM bersubsidi. Peristiwa panic buying tersebut menghiasi headline media, baik cetak maupun online, dan berita di televisi. Masyarakat pun turut membagikan berita-berita tersebut lewat media sosial dan mengomentarinya.
Tidaklah tepat kalau masyarakat menyebut situasi tersebut sebagai "kelangkaan" BBM bersubsidi. BBM bersubsidi tidaklah langka, tetapi memang pasokannya dibatasi oleh pemerintah sejak 18 Agustus 2014. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar kuota 46 juta liter BBM bersubsidi mencukupi hingga akhir 2014. Kebijakan tersebut kemudian dikaitkan dengan APBN 2015 yang dinilai oleh sebagian pengamat akan menghambat keleluasaan pemerintahan Jokowi-JK dalam menjalankan program-programnya. Anjuran agar SBY menaikkan harga BBM agar mengurangi beban APBN 2015 menjadi kontroversi tersendiri.
Terlepas dari berbagai peristiwa politik seputar pembatasan BBM, benarkah pemerintah, baik pemerintah sekarang maupun mendatang, memang harus mengurangi subsidi BBM? Inilah opini lima Kompasianer dalam topik pilihan "Pembatasan BBM Bersubsidi".
1. Bukan kurangi atau hapus subsidi, tapi hemat BBM
Yulies Anistyowatie melihat permasalahan BBM bersubsidi dari dua sisi, yakni subsidi BBM dipertahankan dan subsidi BBM dikurangi. Menurutnya, bila BBM terus disubsidi, masyarakat terus beranggapan bahwa harga BBM itu murah sehingga mereka terus konsumtif dan boros mengonsumsi BBM. Bisa jadi mereka akan mengambil kredit motor (lagi) dan mobil. Jadilah konsumsi BBM akan semakin banyak yang berakibat pada menipisnya cadangan devisa negara karena pemerintah menggunakannya untuk mengimpor BBM.
Sementara itu, bila subsidi BBM dikurangi dengan alasan dana subsidinya dialihkan untuk hal lain yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur, pemberian bantuan mesin untuk nelayan, pupuk untuk petani, dan jaminan pendidikan dan kesehatan, kenyataannya kesenjangan sosial semakin lebar. Berkali-kali pemerintah menaikkan harga BBM dengan alasan tersebut, kalaupun ada pengalihan dana subsidi untuk membantu rakyat kecil, itu hanya sebagian kecil dari dana subsidi tersebut. Yang ada pemerintah harus menaikkan anggaran belanjanya untuk mengimbangi kenaikan harga BBM sehingga terpakailah dana subsidi tersebut.
Menurut Yulies, permasalahan utama BBM bukanlah perkara besarnya subsidi BBM, tetapi pada jumlah kendaraan yang sudah berlebihan. Karena itu, jalan keluarnya adalah mengurangi penggunaan kendaraan. Caranya bisa dengan meninggikan pajak kendaraan, meningkatkan tarif parkir, menggratiskan transportasi umum, dan sebagainya. Selain itu, jika memasalahkan APBN agar subsidi BBM dikurangi, tengoklah anggaran belanja pegawai yang besarnya hampir sama dengan belanja infrastruktur dan barang. Solusinya, kurangi gaji pegawai dan belanja operasional kementerian dan lembaga.
2. BBM bersubsidi wajib untuk nelayan
Distribusi subsidi BBM adalah satu di antara sekian banyak permasalahan pokok nelayan yang belum diselesaikan pemerintah. Situasi tersebut akan diperburuk bila pemerintah mengurangi subsidi BBM. Walaupun nelayan diberi fasilitas boleh membeli BBM di tempat-tempat tertentu seperti SPBB (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunder), SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan), SPDN (Solar Pack Dealer Nelayan), kenyataannya baru 30-40% sentra nelayan yang sudah dibangunkan SPBB, SPBN, dan SPDN. Jadi, jika dalam situasi sulit ini pun pemerintah masih berencana mengurangi subsidi BBM, sebaiknya lupakan wacana untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim.
Melongok Tiongkok, Jepang, dan Korea yang sektor perikanan tangkapnya sudah maju dan menyumbangkan 35% dari PDB-nya, mereka memberikan proteksi terhadap nelayan dan usahanya. Untuk Indonesia, pemberian subsidi BBM kepada nelayan wajib hukumnya. Pasalnya, 70% dari pengeluaran nelayan adalah untuk BBM.