Pertengahan November lalu, sebuah bom meledak di Kota Samarinda tepat di depan Gereja Oikumene. Ledakan terjadi di Gereja Oikumene Sengkotek Samarinda pukul 10.10 Wita. Pelaku sempat melarikan diri, namun segera ditangkap dan dibawa ke Mapolresta Samarinda untuk dilakukan pemeriksaan.
Akibat kejadian ini, empat anak kecil mengalami luka bakar dan satu orang di antaranya meninggal kemudian. Mabes Polri menetapkan lima orang tersangka pelaku aksi teror ini dan ternyata salah satu dari pelaku pernah menjalani hukuman terkait kasus tindak pidana terorisme dan mendapat program deradikalisasi.
Kembalinya seorang pelaku terorisme yang pada awalnya telah menerima program deradikalisasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)tentu mengundang pertanyaan, apakah program deradikalisasi ini bisa diandalkan atau malah gagal?
Melihat kejadian ini, Kompasiana pun membuat jajak pendapat melalui fitur Pro Kontra. Dengan melontarkan statement bahwa Bom Samarinda Bukti Kegagalan Program Deradikalisasi, sebanyak 4 Kompasianer menyatakan pendapat yang sama atau setuju dan 1 Kompasianer menyatakan berseberangan.
Kompasianer Isar Dasuki Tasim adalah salah satu yang menyatakan setuju dengan statement yang dilontarkan. Artinya, ia menganggap bahwa ada kegagalan dalam program deradikalisasi yang dicanangkan.
"Gagal seratus persen sih belum, tetapi ini indikasi ke arah kegagalan," tulis Isar.
"Tetapi perlu ditindak lanjuti oleh aparat, seluruh eks narapidana harus diperhatikan tindakan sehari-hari dengan memasang orang-orang terdekat untuk melaporkan apa kegiatan tersebut. Dengan demikian orang tersebut selalu terkontrol," lanjutnya.
Bahkan, anggota Komisi I DPR, Eva Kusuma Sundari juga turut berkomentar atas kejadian ini. Menurutnya, aksi pelemparan bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda, dinilai menjadi bukti bahwa program deradikalisasi yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) belum maksimal.
"Kejadian ini juga membuka mata kita bahwa BNPT perlu memperbaiki program deradikalisasinya, karena pelaku adalah eks napi teroris yang merupakan jaringan kelompok radikal yang terlibat pada kasus bom buku tahun 2011," kata Eva sebagaimana diberitakan Kompas.com
"Insiden ini memunculkan dugaan terkait tdk saja adanya kekurangefektifan program pembinaan dalam lapas, tetapi juga ada kelemahan dalam program pemantauan terhadap mantan napi teroris pasca dibebaskan," kata politisi PDI-P ini.
Menurut Eva, evaluasi mendalam dan menyeluruh terhadap program deradikalisasi selama ini perlu dilakukan sehingga dapat menjadi masukan bagi program pencegahan terorisme yang efektif.