Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Haruskah Indonesia Terus-menerus Impor Cangkul?

18 November 2016   17:08 Diperbarui: 19 November 2016   14:31 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cangkul. Tribunnews.com

Sebagai negara agraris dan kaya akan hasil alamnya, Indonesia ternyata masih melakukan impor cangkul dari Tiongkok. Kebijakan pemerintah ini tentu menuai polemik. Tidak sedikit netizen meradang mengetahui kebijakan ini. Namun ada juga pihak yang mendukung kebijakan tersebut demi kepentingan bangsa.

Permintaan jumlah cangkul di Indonesia memang cukup tinggi. Demand yang tidak diimbangi dengan supply inilah yang membuat pemerintah terpaksa melakukan impor cangkul. Pasalnya, perusahaan BUMN yang menaungi belum mampu memproduksi pembuatan cangkul sesuai dengan kebutuhan.

Melihat hal ini tentu saja ada banyak sekali komentar dan opini di internet, termasuk Kompasiana. Berikut ini adalah beberapa opini Kompasianer dalam memandang kebijakan impor cangkul yang dilakukan pemerintah.

1. Sebuah Fenomena di “Negeri Cangkul”

Petani Indonesia. Koran-Jakarta.com
Petani Indonesia. Koran-Jakarta.com
Mungkin tidak aneh ketika kita mendengar bahwa Indonesia merupakan negeri yang anak bangsanya gemar akan barang-barang impor. Bagi kalangan menengah keatas, barang impor tidak hanya menjadi simbol 'prestise', juga simbol dari keberhasilan akan 'prestasi'. Opini ini tertulis dalam paragraf pertama ulasan Syahirul Alim.

Menurutnya sangat aneh rasanya ketika negeri kaya dan subur seperti Indonesia, segala sesuatunya harus diukur melalui impor, hanya dengan alasan stok dalam negeri tidak mencukupi. Bahkan muncul pertanyaan, tidak mampukah bangsa ini menggenjot produksi sendiri? Apakah tenaga kerjanya kurang memadai? Ataukah lahannya kurang luas? Ataukah memang orang-orangnya sudah tidak mau bekerja keras sehingga lebih suka instan memanfaatkan yang sudah ada?

Bisa jadi bangsa ini bukan bangsa pekerja keras, karena sudah nyaman karena sawah ladangnya dijual untuk kepentingan industri. Mindset para pemangku negeri ini pun selalu mencari 'selisih' yang lebih murah karena lebih banyak memberikan keuntungan daripada harus susah-susah dengan kualitas yang bernilai lebih mahal.

2. Mafia Cangkul Lecehkan Kedaulatan Pangan

Produksi cangkul kalah bersaing. Harian Nasional
Produksi cangkul kalah bersaing. Harian Nasional
Tiba-tiba muncul virus baru di tengah kinerja sektor pangan yang naik daun. Virus tersebut adalah mafia cangkul.

Menurut Rico Simanjuntak Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumberdaya manusia pengrajin berbagai macam produk besi berkualias dan kaya akan bahan baja atau besi, tiba-tiba dihebohkan dengan impor cangkul dari Tiongkok dalam skala fantastis. Ternyata, mafia cangkul sudah mulai beroperasi sejak era pemerintahan SBY.

Tentang fakta impor cangkul di atas, sangat kontradiksi dengan Nawa Cita Jokowi dan kinerja sektor pangan saat ini yang membaik. Presiden Jokowi dan FAO perwakilan Indonesia pun telah mengapresiasi kinerja pangan khususnya beras yang mampu dicukupi dalam hasil produksi sendiri.

Oleh karena itu, untuk mengamankan negara ini dari ancaman mafia cangkul, pemerintah harus secepatnya membersihkan negara ini dari mafia cangkul. Hal ini sangat mendesak agar mereka tidak melakukan lagi upaya-upaya lain yang lebih merugikan negara dan rakyat.

3. Cangkul cangkul yang Dalam

Cangkul. Harian online
Cangkul. Harian online
Cangkul dari cina tak terhindari telah tiba di tanah air Indonesia. Jadi polemik di DPR dan masyarakat kenapa sampai hati cangkul di import dari negeri lain.  Apakah bangsa ini tidak bisa lagi mampu membuat cangkul. Cangkul tidaklah sulit membuatnya. Itulah yang dikatakan Kompasianer Thamrin Dahlan dalam ulasannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun