Apakah yang Kompasianer rasakan ketika baru berencana pergi ke luar negeri, tetapi sudah ditagih oleh-oleh orang lain? Daripada pusing memikirkan buah tangan, apakah biasanya beli saja setelah tiba di Indonesia?
Kompasianer merasa terbebani dengan itu? Atau, lebih baik sekalian membuka jastip dan sekalian cari untung di sana?
Ketika bepergian ke luar negeri tentu ada barang-barang yang ingin kita beli dan bawa pulang sebagai kenang-kenangan.
Namun, baru-baru ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi membatasi jumlah barang bawaan penumpang dari luar negeri mulai 10 Maret 2024.
Aturan tersebut bertujuan untuk memberi pengawasan terhadap barang impor agar sesuai dengan batasan yang berlaku.
Hal ini kemudian jadi polemik, karena bagaimana mungkin petugas Bea Cukai ini tahu mana barang yang sudah lebih dulu kita bawa ke luar negeri dan mana yang kita beli di sana?
Jika memang dibatasi, warganet juga bertanya-tanya lantas untuk apa batas maksimum yang diberikan hingga 30 kilogram sedangkan ada batasan barang yang diberlakukan?
Pembatasan ini berkembang hingga fenomena jastip cenderung melemahkan daya saing produk lokal karena banyaknya barang-barang impor.
Apakah benar ini bisa secara langsung berdampak pada produk dalam negeri? Karena imbauannya dibandingkan berbelanja di luar negeri, wisatawan juga tetap bisa berbelanja oleh-oleh di Indonesia.
Bagaimana tanggapan Kompasianer soal aturan pembatasan jumlah barang bawaan penumpang perjalanan dari luar negeri? Apakah justu Kompasianer senang dengan adanya aturan baru ini?