Kompasianer, kalau diminta memilih, lebih suka mana: pakaian mahal buatan para perajin lokal; atau pakaian murah yang diproduksi oleh pabrik yang memproduksi limbah tercemar berbahaya?
Survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga konsultan bisnis bernama Kantar di London, Inggris, menyebutkan bahwa kini konsumen lebih peka terhadap isu lingkungan.
"Ada 58 persen partisipan dari Asia Pasifik mengaku bersedia untuk menginvestasikan waktu dan biaya untuk mendukung perusahaan yang berbuat baik terhadap sesama dan lingkungan," demikian KOMPAS.com mengutip pernyataan Kantar.
Tak ayal, kini ramai berseliweran produk-produk yang ramah lingkungan, terbuat dari bahan alami organik, mendukung komunitas lokal, dan responsif terhadap isu sosial lainnya.
Misalnya produk yang self-made, bisa didaur ulang, terbuat dari serat yang mudah terurai, dibuat oleh masyarakat adat, mendukung perjuangan kelompok rentan, sebagian penjualan diberikan kepada kelompok tertentu, dan lain sebagainya.
Tetapi di lain sisi, produk-produk seperti ini dibanderol dengan harga yang relatif lebih mahal. Bandingkan dengan produk buatan massal yang bisa memberikan harga murah. Misalnya makanan/sampo kemasan dan produk retail fast fashion.
Memang, ragam studi mengatakan bahwa anak muda lebih suka mengonsumsi apapun yang memiliki "value" sehingga tertarik dengan produk-produk serupa. Apakah Kompasianer salah satunya?
Akan tetapi, bagaimana dengan poduk yang semata-mata hanya mengikuti tren dan sekadar asal klaim saja? Bagaimana cara kita melakukan kroscek?
Barang ramah lingkungan apa yang pernah Kompasianer beli? Apa pertimbangan saat membelinya? Atau sebaliknya, mengapa Kompasianer tetap membeli produk massal yang harganya lebih ekonomis?
Silakan tambah label Produk Berkelanjutan (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.