Apakah kamu suka bercocok tanam di pekarangan rumah? Tanaman pangan lokal yang kamu tanam? Apakah kamu gemar bertukar hasil panen dengan tetangga? Ada ngga sih, pangan lokal khas dari daerahmu yang belum banyak orang tahu? Tahukah kamu sejarah pangan lokal tersebut?
Di bulan Oktober ini, Kompasiana berkolaborasi dengan Kompasianer Repa Kustipia! Peneliti independen bidang antropologi pangan di Center for Study Indonesian Food Anthropology (CS-IFA) ini ingin menantang kamu bercerita tentang varian pangan lokal di Indonesia! Yang punya ketertarikan, pengalaman atau gagasan seputar pangan lokal, yuk merapat!
Mengawali kariernya sebagai ahli gizi, siapa sangka ketertarikan wanita asal Tasikmalaya Jabar ini terhadap gastronomi sejak 2011 malah menjadikannya seorang peneliti antropologi pangan! Karenanya, ia tak hanya piawai menelisik pangan dari aspek komposisi dan gizi, tetapi juga dari aspek sejarah dan antropologi. Wah, kompleks betul!
Baca juga:Â Ngomongin Pangan Lokal Bareng Repa Kustipia, dari Gastronomi Indonesia hingga Mataram Kuno
Bagi Repa, pangan lokal Indonesia begitu melimpah dan masih perlu dieksplorasi lebih mendalam. Tentunya ia tak bisa melakukannya sendirian, perlu bantuan Kompasianer untuk mengungkap hal-hal menarik di balik pangan lokal daerah kita masing-masing.
Pecel, misalnya. Secara historis, makanan ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno. Masyarakat Mataram Kuno lalu bermigrasi ke berbagai daerah, yang lantas melahirkan pecel dengan berbagai corak kedaerahan.
Repa mencontohkan pecel khas Surabaya, semanggi suroboyo. Seperti namanya, pecel tersebut memiliki daun semanggi sebagai ciri khasnya. Penjualnya pun memiliki ciri khas tertentu, yakni mengenakan jarik batik. Jika dilihat dari aspek gizi, seporsi pecel Surabaya memiliki ratusan komposisi, yang bisa dikelompokkan ke dalam sejumlah komoditas dengan nilai gizi.
Misalnya, ada kelompok karbohidrat, protein nabati, protein hewani, serta golongan buah-buahan, baik yang berbiji maupun tidak berbiji. Lalu ada juga sayuran hijau dan sayuran merah. Pun termasuk ikan, yang masuk ke dalam kelompok pangan air atau blue food.
Berbicara tentang makanan pokok, masyarakat Indonesia juga terbiasa mengonsumsi beras saja. Padahal, secara historis, nenek moyang kita juga makan jagung, ubi atau sorgum yang bisa menjadi alternatif karbohidrat. Bila kita tak mempopulerkannya kembali, bukannya tak mungkin bila kekayaan pangan tersebut memudar dan bahkan hilang.
Di lain sisi lain, ketergantungan kita terhadap jenis pangan tertentu dapat membuat kita terus menerus melakukan impor pangan. Padahal FAO memperingatkan ancaman krisis pangan lantaran naiknya harga komoditas imbas perubahan iklim, perang, dll. Maka, mengapa kita tidak mencoba kemandirian pangan dari ruang lingkup terkecil: bercocok tanam di rumah!
Kita bisa memulainya dari pekarangan rumah yang sederhana dengan menanam tanaman pangan cepat (bisa panen hanya dalam waktu 20-30 hari!) Jangan lupa ajak tetangga untuk membuat kebun bersama. Siapa tahu, Kompasianer malah tertarik menanam jenis pangan lokal yang belum banyak diketahui.